10 Oktober 2009

PARTISIPASI DAN URGENSI KETERSEDIAAN PUBLIC SPHERE BAGI DAERAH OTONOM BARU

Upaya membentuk pemerintahan yang partisipatif telah menjadi suatu cita-cita besar dalam reformasi pelayanan publik di Indonesia sejak satu dekade silam. World Bank mengidentikasikan partisipasi sebagai salah satu prinsip yang harus ditaati guna mencapai apa yang mereka namai good governance. Menurut Agustino (2006) asumsi yang mendasari pentingnya partisipasi publik tidak lain adalah karena yang paling tahu tentang apa yang diperlukan publik adalah publik itu sendiri. Selain itu menurutnya partisipasi publik juga menjadi ciri utama dalam konsep human-centered development. Oleh karenanya tak heran jika Utomo (2007) menegaskan bahwa esensi otonomi daerah adalah apalagi kalau bukan hendak merubah warga government yang bertitik tekan pada otoritas kepada governance yang bertitik tekan pada interaksi (civil society, privat sector, dan pemerintah).

Namun demikian dalam banyak kasus di daerah otonom baru, partisipasi publik menjadi hal yang langka. Publik lebih banyak dalam posisi menunggu tindakan aparatur pemerintah ketimbang bersama-sama menjadi pemrakarsa bagi pemecahan macam ragam persoalan publik yang sedang dihadapi. Rendahnya partisipasi pada daerah mekaran baru ternyata bukan disebabkan skeptisisme dan apatisme publik tetapi seringkali justru karena ketiadaan ruang publik (public sphere) yang memunginkan publik bebas menyampaikan gagasan, ide bahkan kritik dalam suatu proses interaksi berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Lalu, bagaimana dengan prospek partisipasi dan ketersediaan public sphere di kepulauan Anambas?

Partisipasi Pada Priode Advokasi Pembentukan KKA

Jika ditilik kembali kontribusi warga masyarakat dalam proses advokasi kabupaten Kepulauan Anambas, maka rumusan yang adil adalah dengan mengatakan bahwa peranan masyarakat amat kontributif. Anambas tidak lahir dari gang-gang sempit yang didominasi dari sekelompok elit, tetapi lahir dari suatu keresahan sosial yang menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan publik. Elit kemudian menginterpretasikannya dalam gerakan advokasi yang terencana dengan partisipasi penuh dari publik yang nyaris tanpa motivasi materi. Setidaknya hal inilah yang penulis temui dari hasil penelitian tesis tentang peranan masyarakat dalam advokasi kebijakan pemekaran Anambas yang baru saja diselesaikan beberapa waktu lalu.

Tentu bukan kali yang tepat untuk menguraikannya secara holistik dan terfokus. Tetapi message yang ingin dipetik adalah kereleaan publik untuk berbuat pada priode advokasi pembentukan Anambas adalah suatu modal sosial yang dapat dikonversikan dalam bentuk partisipasi publik yang lebih konstruktif pada masa sekarang dan masa-masa yang akan datang. Baik partisipasi yang muncul dalam ranah proses kebijakan, kontrol sosial, dukungan finansial dalam bentuk pajak dan retribusi, maupun upaya-upaya dalam menemukan alternatif kebijakan bagi segenap permasalahan publik yang paling riskan sedang dihadapi masyarakat Anambas hari ini semisal listrik dan air bersih.

Pentingnya Ketersediaan Ruang Publik
Ihwal ketersediaan public sphere tentu menjadi amat penting untuk mengakomodasi suara publik. Ketiga domain governance (civil society, privat sector, dan pemerintah) memiliki tanggung jawab yang sama untuk menghadirkan ruang publik. Asril Masbah misalnya lewat media Anambas Pos telah memulainya secara elegan. Walau independensi dan perbaikan sistem distribusinya masih harus kita nantikan bersama.

Selain media cetak, hemat penulis ruang publik yang sesuai dengan geografis Anambas adalah radio lokal. Media yang satu ini relatif murah tetapi mampu bergerak secara cepat. Lewat gelombang elektromagnetik, radio memungkinkan suara publik di sebuah desa terpencil dapat didengar oleh pejabat pemerintahan yang tentu memiliki keterbatasan daya untuk menjangkau seluruh pulau setiap harinya.

Radio juga memungkinkan pihak-pihak terkait non pemerintah terbantukan lewat informasi yang diberikan publik. Pengalaman Radio Magarita di Bandung, Jawa Barat lewat unit BURAS (Back Up Room Rapidity Approaching Sources)nya yang berfungsi sebagai unit gerak cepat untuk melaporkan kejadian di lapangan dan kemudian menghubungi pihak yang terkait dan bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalah agaknya dapat dijadikan contoh. Tak hanya publik pemerintah daerahpun akan terbantukan dalam rangka mengoptimalkan impelementasi program-program sarat partisipasi, semisal program keluarga berencana, pemungutan pajak tertentu, penjagaan kebersihan lingkungan laut, dan lain sebagainya.

Tool lainnya yang sesuai untuk diaplikasikan di wilayah Anambas yang notabene penduduknya terpencar-pencar dalam banyak pulau adalah pemanfaatan media bebas hambatan (internet). Website yang digagas pemerintah di banyak daerah terbukti sangat efektif tidak hanya bagi kepentingan untuk menyerap keluh kesah publik tetapi juga memperpendek rantai birokrasi. Pemkab Kepulauan Anambas sebenarnya jauh hari telah menautkan eksistensinya di dunia maya lewat situs anambaskab.go.id, sayangnya situs tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan updating-nya masih jauh kalah dibanding blog-blog pribadi yang ditulis warga dan mahasiswa-mahasiswa Anambas di perantauan.

Tak kalah penting adalah media konvensional seperti forum warga juga layak ditumbuhkembangkan terutama di desa-desa. Forum warga memungkinkan berbagai komunitas dan kepentingan duduk satu atap untuk satu tujuan yang sama yakni mencari penyelesaian bagi persoalan-persoalan publik kontemporer. Pemerintah disini bukan pihak yang mendiktekan ide atau sebaliknya pihak yang terhakimi atas berbagai problematika publik, tetapi pemerintah adalah bagian dari publik itu sendiri.

Akhirnya, kita tentu bersepakat sebagaimana juga telah ditasbihkan peraturan perundang-undangan bahwa kebijakan otonomi daerah secara substansial diarahkan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat yang diantaranya dicapai melalui peningkatan peran serta masyarakat (baca: partisipasi). Sedang partisipasi publik hanya mungkin eksis jika ruang untuk berpartisipasi secara demokratis, akomodatif dan responsif juga eksis.

Betapapun upaya membangun public awareness atau dalam istilah Bung Hatta disebut keinsyafan rakyat yang diantaranya dapat dicapai melalui penyediaan ruang publik tidak boleh luput dari perhatian kita semua (terutama pemerintah daerah) ditengah-tengah derasnya pembangunan sarana dan prasarana fisik di kabupaten yang amat kita cintai ini. Semoga..

Sebelumnya telah dimuat di Koran Umum Anambas Pos, edisi Oktober 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar