14 Juli 2009

MENYERET GERBONG KETERTINGGALAN ANAMBAS

Beberapa waktu lalu masyarakat Anambas baru saja menggelar perhelatan untuk merayakan setahun terbentuknya kabupaten Kepulauan Anambas. Berbagai acara yang dilangsungkan dari tanggal 24-27 Juni itu terlaksana dengan penuh sahaja namun sarat makna. Selang beberapa hari kemudian Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Lukman Edi sebagaimana dilansir Sijori Mandiri 2 Juli 2009 menyatakan, bahwa Anambas bersama Natuna dan Lingga adalah kabupaten yang masih berada pada daftar daerah tertinggal dan merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah provinsi Kepulauan Riau. Sedang Kepri sendiri menurut Edi merupakan provinsi pemekaran yang berhasil sehingga dapat pula dikatakan sebagai sebagai provinsi pemekaran percontohan di Indonesia.

Masih menyandang status sebagai kabupaten tertinggal memang merupakan keprihatinan tersendiri yang harus disikapi dengan bijak, tetapi juga harus dilihat secara cermat. Khusus Anambas misalnya merupakan daerah otonom yang baru dibentuk pada 24 Juni tahun lalu sebagai hasil pemekaran dari kabupaten Natuna, sedang pemerintahannya baru efektif sejak September 2008, jadi belum genap setahun.

Dua Prasyarat Utama
Namun demikian, hemat penulis Anambas akan cepat meninggalkan statusnya sebagai daerah tertinggal dalam waktu lima tahun kedepan. Dua prasyarat utama yang harus segera dilakukan terhadap Anambas adalah pertama, segera menetapkan daerah tersebut sebagai kabupaten penghasil migas dengan segala kompensasinya. Jika berdasarkan asumsi besaran DBH Migas sebagaimana yang diterima kabupaten induk selama ini, maka sector tersebut akan menyumbang pemasukan hingga 90 persen lebih dari APBD Anambas setiap tahunnya, dengan kata lain tanpa DBH Migas sangat mustahil Anambas bisa mengakselerasi pembangunan dan beranjak dari ketertinggalan dalam waktu cepat. Menteri PDT meski tidak memiliki kewenangan secara langsung tapi tentu mempunyai kapasitas untuk ikut membantu memperjuangkan usaha masyarakat Anambas mendapatkan hak-haknya atas eksplorasi kekayaan alam di bumi Anambas.

Kedua, perlunya pemerintah daerah menekankan pembangunan inftrastruktur dan superstruktur fisik yang memiliki multiplying effect alias dampak berlipat berganda, yang untuk konteks Anambas dapat diidentifikasi sebagai pembangunan jalan lintas kecamatan dan desa, transportasi laut, pelabuhan laut, perumahan murah dan menengah, serta unit-unit pertokoan khususnya di Terempa dan Letung yang saat ini perniagaannya sedang bergeliat namun miskin sarana.

Pembangunan proyek-proyek tersebut akan meningkatkan mobilitas warga Anambas yang tersebar tidak di satu pulau, dan juga untuk memancing investasi sektor swasta baik lokal maupun regional. Meminjam logika Paul Rosentein dan Rodan (1957) high investment akan berdampak pada high employment yang kemudian berimplikasi pada high income mengakibatkan pertambahan high purchasing power dan akhirnya kembali berkontribusi pada high investment.

Anambas saat ini seperti sebuah lapangan sepak bola yang kosong dan gersang, tanpa rumput yang hijau dan fasilitas mumpuni orang-orang tidak akan mau bertanding disini. Jadi infrastruktur dan superstruktur fisik adalah kebutuhan yang paling mendesak dewasa ini. Pemerintah daerah dan pemerintah provinsi dari manapun sumber dananya asal dibenarkan undang-undang termasuk opsi melakukan pinjaman daerah harus melakukan big push terhadap hal ini. Dalam kajian keuangan negara Rostow dan Musgrave mengembangkan suatu model pengeluaran pemerintah yang pada intinya menyatakan bahwa pada tahap awal pemerintah perlu mengeluarkan investasi yang besar untuk menyediakan prasarana, tetapi pada tahap menengah meski investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar, sehingga ketergantungan pada pemerintah akan berkurang.

Lebih dari itu pada gilirannya modal besar yang dikeluarkan pemerintah tersebut akan terbayarkan melalui pajak dan retribusi seiring peningkatan income masyarakat. Tetapi yang harus diingat dalam waktu 5-10 tahun ini pemerintah daerah harus menghindari betul pembangunan berbagai proyek mercu suar yang megah nan mewah tetapi dampak bergandanya kecil dan minus horizontal equity antar wilayah/ pulau seperti pembangunan proyek Gerbang Utaraku sebagaimana yang pernah dilakukan kabupaten induk Natuna.

Sedang untuk jangka menengah dan panjang, sektor pendidikan adalah keharusan yang mutlak, putra-putri lokal harus diberikan kesempatan untuk mengeyam pendidikan tinggi dengan biaya dari pemerintah daerah. Industri perikanan dan pembangunan berbasiskan kelautan serta pariwisata maritim adalah bagian yang juga perlu direncanakan dengan matang dan harus menjadi sektor unggulan daripada usaha masyarakat tempatan, terutama untuk mengatasi habisnya sumber daya tak terbarukan (baca: Migas) dimasa mendatang.

Modal Sosial dan Realitas Daerah
Sekali lagi optimisme penulis akan kemampuan Anambas menyeret gerbong ketertinggalannya dalam waktu lima tahun bukan tidak beralasan. Anambas memiliki prakondisi lain yang amat kontributif bagi pembangunan. Dukungan masyarakat Anambas dalam priode advokasi pembentukan kabupaten ini yang diantaranya ditunjukkan dengan kesediaan untuk ikut menyumbang dana, tenaga, dan antusiasme yang tinggi dari level elit sampai level grass root merupakan modal sosial yang amat berarti bagi pembangunan daerah ini kedepan tentu jika hal tersebut berhasil dikonversikan dalam bentuk partisipasi politik publik baik dalam tataran local regulations process juga dalam konteks mengawasi pembangunan.

Namun bagaimanapun teknis caranya pemerintah setempat harus menginisiasi pengadaan ruang publik yang fair, demokratis, namun murah dan dapat disediakan dalam waktu singkat (seperti koran dan radio lokal) yang mana saat ini di Anambas masih nihil. Keberaadaan media lokal tersebut memberi kesempatan bagi publik Anambas yang sejak awal telah memiliki perhatian yang besar terhadap daerahnya kini di dorong untuk berpartisipasi aktif dalam politik dan pembangunan. Pada sisi lain media lokal tersebut juga memudahkan pemerintah daerah untuk mengkampanyekan program-program yang secara teknis membutuhkan partisipasi aktif dari publik, katakanlah misalnya program Keluarga Berencana, program menjaga Lingkungan Hidup khususnya konservasi laut dan isinya, program peningkatan kualitas kesehatan, serta keamaanan, kebersihan, dan ketertiban kota, dan lain sebagainya.

Keberadaan ruang publik amat penting karena pada banyak kasus daerah pemekaran baru minimnya peranan masyarakat dalam pembangunan dan proses kebijakan publik ditingkat lokal bukan karena apatisme dan fatalisme tetapi lebih karena ketiadaan ruang publik untuk berpartisipasi. Padahal yang menjadi ciri dari pemerintahan otonomi kata Warsito Utomo (2007) adalah reformasi dan perubahan warna government yang bertitik tekan pada otoritas kepada governance yang bertitik tekan pada interaksi di antara pemerintah (public), masyarakat (community) dan swasta (profit maupun sosial).

Disamping itu wilayah Anambas yang relatif lebih kecil dibanding kabupaten induk Natuna (hanya 33,15 persen dari keseluruhan wilayah Natuna sebelum pemekaran), serta jarak antar pulau di Anambas yang lebih dekat akan memberi kemudahan tersendiri dalam mengefektifkan pelayanan publik dan koordinasi pemerintahan.

Sedang jumlah penduduk yang sedikit (hanya 40 ribuan jiwa) dengan ikatan ginealogis yang cenderung homogen serta kualitas integrasi sosial yang cukup baik akan lebih memudahkan pemerintah dalam memberdayakan masyarakat. Potensi kemunculan social problems seperti kesenjangan sosial, anak jalanan, kemiskinan kota, pekerja seks komersial juga relatif kecil, sehingga pemerintahan tidak akan terlalu disibukkan dengan rantai permasalahan sosial tersebut, dan hal ini adalah indikator yang positif bagi Anambas untuk melangkah kedepan, meminjam slogan JK, lebih cepat dan lebih baik.

Dan yang paling terpenting adalah sistem rekrutmen pegawai pemerintahan yang bersih dari KKN, serta pelelangan proyek-proyek pembangunan yang fair terutama pada masa-masa awal ini adalah kunci dari keberhasilan pembangunan Anambas dan arah menuju implementasi prinsip-prinsip Good Governance dalam bingkai yang holistik. Kelak 5 tahun kedepan jika Lukman Edi (tentu bila ia masih terpilih sebagai menteri PDT) mengunjungi Anambas, ia akan berkata "Sekarang Anambas tak tertinggal lagi, tetapi mengarah pada kabupaten yang madani". Semoga....
Baca Selengkapnya...

10 Juli 2009

MEMBANGUN ORGANISASI KEDAERAHAN YANG INKLUSIF

Kebijakan otonomi daerah yang telah diberlakukan sejak satu dekade lalu memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat lokal. Desentralisasi yang berjalan seiring implementasi otonomi daerah tidak hanya berarti transfer of power dari pusat ke daerah namun juga memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat (civil society) untuk mengaktualisasikan nilai-nilai lokal yang lama termarginalkan oleh Orde Baru. Realitas ini disatu sisi amat konstruktif, tapi pada sisi yang lain kerap pula bersenyawa dengan over etnosentrisme dan spirit kedaerahan yang melampau. Realitas inilah yang akhir-akhir ini juga menghinggapi sebagian dari mereka yang mengaku dirinya sebagai intelektual muda.

Organisasi Mahasiswa Beorientasi Kedaerahan.
Sejak tahun 2000-an sejumlah pemerintah daerah di Indonesia khususnya di luar Jawa memang telah menaruh perhatian besar kepada para mahasiswanya yang sedang studi diluar daerah asal. Sebagai misal mahasiswa asal provinsi Kepulauan Riau yang sedang melanjutkan studi di kota Bandung. Setiap kumpulan mahasiswa kabupaten dan kota se-Provinsi Kepulauan Riau memiliki asrama tersendiri. Ada yang disewa atas bantuan pemerintah daerah, ada pula yang dibantu sekadarnya. Bahkan ada asrama yang sengaja dibeli oleh Pemda dengan harga milyaran Rupiah.

Namun sayangnya fasilitas yang diberikan Pemda itu membuat sebagian kumpulan mahasiswa asal Kepri itu menjadi eksklusif. Mereka seolah berada dalam aquarium-aquarium yang tembus pandang, tetapi mengurung badan. Sungguh aneh ada organisasi kemahasiswaan dari daerah A melarang anggotanya berafiliasi dengan organisasi kemahasiswaan dari daerah B. Padahal mereka masih berada dalam satu provinsi, sama-sama orang Melayu, sama-sama beragama Islam, bahkan dulunya sebelum pemekaran daerah merupakan satu kesatuan wilayah. Lebih aneh lagi bila seorang anggota organisasi yang kebetulan salah satu orang tuanya berasal dari daerah A sedang lainnya dari daerah B, si anak diminta untuk memilih menjadi anggota hanya pada salah satu organisasi kemahasiswaan daerah A atau daerah B, tidak boleh kedua-duanya.

Anggota organisasi mahasiswa daerah A hanya boleh aktif di organisasi A, tidak di B tidak pula C. Tak peduli jika mahasiswa tersebut berkerabat dengan mahasiswa dari daerah B atau sahabat-sahabatnya aktif di organisasi mahasiswa daerah C. Pokoknya A ya… A, dan B ya… B.

Bagi saya sikap yang demikian bukan saja menggambarkan suatu pemikiran yang sempit tetapi telah mengarah pada prilaku yang rasis. Pandangan organisasi kemahasiswaan yang menjadikan asramanya atau kumpulan mereka hanya untuk mereka tok, dan menutup diri pada mahasiswa dari daerah lain terutama daerah yang masih bertetangga, masih se-provinsi, masih sesuku, masih sebahasa, dan masih seagama, serta memiliki ikatan gineologis adalah gejala rasisme yang ekstrem agak mirip dengan pemerintah Zionis yang menginginkan negara Israel hanya untuk bangsa Yahudi, atau seperti Jerman dimasa Hitler yang menginginkan negara Jerman hanya untuk ras Arya.

Inklusifisme KPMA Bandung
Saya bersukur Keluarga Pelajar Mahasiswa Anambas (KPMA) Bandung dibawah kepemimpinan Ketua Umum Matari Yasinullah Hasibuan (putra Melayu keturunan Batak) dan ketua DPPA Sasmiyanto (Melayu tulen yang meminjam nama Jawa) konsisten mempertahankan sikap inklusif organisasi yang sejak awal kami tanamkan. Asrama mahasiswa Anambas meski pada dasarnya ditujukan terutama dan paling utama untuk kepentingan mahasiswa asal kabupaten Kepulauan Anambas, namun tetap memberi ruang kepada mahasiswa dari daerah lain untuk tinggal bersama mereka. Asalkan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Anambas, atau mahasiswa asal kabupaten/ kota lain di Provinsi Kepulauan Riau yang meski tidak memiliki hubungan kekerabatan namun sudi berintegrasi dan komit dengan cita-cita bersama yakni membangun persaudaraan di tanah rantau, dan berdasarkan semangat menuntut ilmu pengetahuan ikut berkontribusi dalam pembangunan Anambas. Tentu saja tanpa merampas hak-hak mereka untuk juga terlibat dalam organisasi daerah asalnya.

KPMA Bandung meski sejatinya merupakan organisasi yang berorientasi kedaerahan tetapi tidak boleh menjadi organisasi yang eksklusif melainkan harus inklusif terlebih kepada mereka yang nyatanya adalah saudara-saudara kita juga. Sikap demikian dibutuhkan oleh Anambas sebagai kabupaten baru yang sedang dalam tahap awal pembangunan. Persahabatan kita dengan rekan-rekan mahasiswa dari daerah lain harus terus dibina, siapa tahu pertautan mereka dengan kita pada masa sekarang, kelak justru membuka ruang investasi akibat cerita dan kesan mereka tentang Anambas yang telah mereka sebar kepada rekan atau keluarga di daerah asal mereka. Andaipun espektasi yang demikian terlalu muluk setidaknya kita telah membina perkawanan baru dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal. Raja Ali Haji dalam karyanya Gurindam XII yang termasyhur berkata Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan.

Namun saya belum cukup puas dengan paradigma berpikir KPMA yang positif ini. Saya mengharapkan perspektif organisasi yang inklusif dan nilai-nilai pluralitas harus terus dikembangkan dimasa-masa mendatang. Jika suatu masa KPMA Bandung mendapat fasilitas asrama yang lebih besar dan jauh lebih memadai saya berharap kita semua berkenan berbagi ruang dengan satu atau dua mahasiswa yang tidak hanya berbeda kabupaten dengan kita, tetapi berbeda provinsi, berbeda suku, berbeda bahasa, bahkan berbeda agama.

Mengutamakan mahasiswa Anambas untuk terlebih dahulu menikmati fasilitas yang diberikan pemerintah daerah Anambas itu adalah sebuah keharusan. Kecintaan KPMA terhadap Anambas sebagai daerah asal kita juga amat sangat penting. Tetapi sungguh tidak bijak jika spirit yang pro terhadap daerah asal itu justru berkembang menjadi pandangan kedaerahan yang super eksklusif, over etnosentrime, atau rasisme lokal yang amat membahayakan integrasi nasional.
Baca Selengkapnya...