27 Januari 2010

LISTRIK DI TAREMPA, DIGILIR LEBIH PARAH LAGI

Kesabaran warga Tarempa, ibukota kota kabupaten Kepulauan Anambas benar-benar luar biasa, agaknya dapat dikategorikan memiliki tingkat kesabaran no. 47, yakni jenis kesabaran berkepanjangan dengan secuil harapan yang masih tersisa. Betapa tidak sudah 3 tahun ini listrik di kota tersebut bergilir. Jadwalnya bergilirnyapun macam-macam, sampai kini sudah benar-benar tak tentu arah.

Sudah sepekan ini listrik di kota Tarempa, dalam dua hari hanya 21 jam menyala sedang 27 jamnya mati. Jika dikumulasikan ini artinya dalam satu bulan listrik di Tarempa hanya menyala kurang dari 15 hari. Malah beberapa bulan lalu warga Tanjung Lambai, Tarempa, sempat tak kebagian listrik sama sekali alias mati total. Sungguh terlalu!!!.

Kondisi ini tentu saja amat merugikan masyarakat, terutama mereka yang memiliki kegiatan usaha. Belum lagi voltage yang lebih rendah dari standar 220 v juga dirisaukan warga karena berpotensi merusak peralatan elektronik mereka. Kekesalan bertambah jika PLN mematikan listrik lebih awal dari yang dijadwalkan, atau malah mati mendadak.

Beberapa waktu lalu saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang pekerja di PLN Tarempa, sungguh saya terkejut bukan kepalang bahwa ternyata selama ini PLN Tarempa hanya memiliki satu orang pegawai tetap (hanya kepala), sedang yang lainnya merupakan pegawai honorer biasa. Pikir saya bagaimana seandainya semua pegawai honorer yang ada di PLN itu serempak mengundurkan diri atau mendapatkan pekerjaan yang lain, tentu masyarakat yang menjadi korban.

Sebagai daerah baru yang sedang berkembang, pembangunan di Anambas saat ini sungguh bergeliat, amat disayangkan jika hal itu terhambat karena pasokan listrik yang jauh dari memadai. Alih-alih PLN mau menjangkau wilayah pulau-pulau diseloroh pelosok kabupaten Kepulauan Anambas, sedang didalam kota saja sepertinya jauh dari perhatian.

Saat ini dengan APBD yang berjumlah 600 milyar lebih, sedang jumlah penduduk yang hanya 45 ribu jiwa, serta luas wilayah yang relatif tidak begitu luas, sudah sepatutnya pemerintah setempat memikirkan solusi lain jika ingin mengatasi persoalan listrik di Tarempa, dan kabupaten Kepulauan Anambas pada umumnya. Misalnya saja melalui penyertaan modal daerah kepada PLN, pendirian perusahaan listrik daerah, atau membangun listrik berbasis komunitas, yang pasti agaknya PLN sudah tak lagi dapat dihandalkan sebagai satu-satunya perusahaan yang memasok listrik disini.
Baca Selengkapnya...

20 Januari 2010

YUK..RAMAI-RAMAI JADI ANAK MAMI

Tenang dulu...jangan terkecoh dengan judul diatas. Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengajak pembaca menjadi anak mami (baca: anak manja), tapi MAMI diatas adalah singkatan dari Masyarakat Anambas Melek Internet. MAMI adalah sebuah cyber community yang digadang oleh salah seorang warga Anambas bernama Lukman Hakim. Lewat Manara Anambas Hot Spot, Hakim yang akrab di panggil Bujang itu bermaksud mengajak masyarakat Anambas khususnya masyarakat di ibukota Tarempa melek dengan teknology cyber.

RT RW Net yang digagas oleh Bujang saat ini bisa di akses free of charge alias tanpa bayaran oleh masyarakat yang berada di sekitar jalan Tongkol, Jln Pemuda, Jln Belakang, dan Jln Diponegoro, kota Tarempa. Mereka yang berniat menjadi anak MAMI (sekali lagi bukan anak Mami dalam pengertian yang sebenarnya) cukup mendaftarkan diri melalui hand phone ke nomor yang sudah ditentukan, dan bisa dilihat jika komputer anda berhasil menangkap signal dari Manara Anambas Hotspot.

Sayangnya saat ini layanan dari Manara Anambas belum optimal, selain keterbatasan kuota akses, juga lagi-lagi listrik di kota Tarempa yang masih bergiliran jadi problem. Tak heran kadang-kadang Manara Anambas Hot Spot sering DC (Disconect) mendadak. Tapi setidaknya kahadiran Manara Anambas cukup membantu, apalagi kecepatan aksesnya asal tidak digunakan untuk download sudah lumayan bagus.

Menurut Bujang rencananya jaringan RT RW Net ini akan di perluas sampai ke wilayah-wilayah yang lain di kota Tarempa, dengan cara penambahan kuota akses maupun pemasangan sejumlah manara baru. Jika terlaksana kemungkinan baru akan dipungut bayaran, tetapi tetap dengan harga yang mampu dijangkau masyarakat. Kalau sudah begini tak heran lagi jika ibu-ibu di Anambas yang biasanya mengisi kekosongan waktu dengan bergosip ria, atau bapak-bapaknya yang asyik nongkrong di kedai kopi, kan beralih menjadi user internet. Wawasan akan lebih terbuka, hingga hidup lebih berharga. Bagaimana dengan anda mau ikutan jadi anak MAMI?
Baca Selengkapnya...

10 Januari 2010

GELIAT PEMBANGUNAN ANAMBAS TAK BOLEH ABAIKAN KALANGAN REMAJA

Ihwal pembangunan Anambas telah menjadi diskursus yang menarik diperbincangkan sejak lama, mulai dari sekadar obrolan di kedai kopi sampai kepada perbincangan di ruang-ruang formal. Tapi sayangnya hampir tak ada yang menyinggung soal pembangunan yang menyentuh kepentingan para remaja kecuali yang menyangkut hak-hak mereka untuk menikmati pendidikan di sekolahan secara lebih memadai, itupun banyak yang masih sebatas wacana.

Padahal kebutuhan para remaja tidak hanya soal urusan sekolah tetapi juga menyangkut kebutuhan akan ruang untuk berekspresi, hak-hak untuk menyalurkan kreatifitas dan hobby nya, termasuk hak-hak untuk mendapatkan perlindungan dari tekanan orang-orang dewasa serta kebijakan publik yang langsung ataupun tidak telah menafikkan eksistensi mereka sebagai manusia bebas dan merdeka.

Usia remaja adalah masa-masa yang kritis dan menentukan. Tak jarang seseorang jatuh dalam lembah hitam seperti narkoba, minum-minuman keras, bahkan seks bebas berawal dari usia remaja. Sebagaimisal data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2004 menunjukkan bahwa pengguna narkoba terbesar ada dikelompok usia 15-24 tahun. Sedang penelitian Yayasan Citra Anak Bangsa (YCAB) pada tahun 2002 mengungkapkan bahwa kelompok usia terbesar anak berpeksperimen narkoba pertama kalinya adalah 12-17 tahun. Tak kalah mengejutkan survei yang dilakukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2003 di lima kota besar menyatakan bahwa sebanyak 85 persen remaja 13-15 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka. Kalau mau jujur kecendrungan yang demikian ini juga mendera sebagian remaja di kabupaten ini. Oleh karenanya problematika dan ancaman yang dihadapi para remaja perlu menjadi perhatian masyarakat terutama pemerintah daerah sejak dini.

Masalah ini dianggap perlu untuk diketengahkan, karena Anambas saat ini seakan sedang mengalami transformasi desa ke kota yang tengah “gila-gilanya”. Dewasa ini gempuran informasi yang masuk kesini demikian dahsyatnya seiring adopsi teknologi informasi ke wilayah ini. Perkembangan ekonomi dan sosial pasca pemekaran daerah juga berimplikasi pada kehidupan para remaja. Kalau bahasa anak sekarang jadi lebih gaul dan lebih ke kota-kotaan, kebutuhan-kebutuhan akan materi tersier juga jauh lebih meningkat, demikian juga tekanan-tekanan dalam pergaulan yang tak jarang melahirkan kecemburuan sosial dan goncangan mental. Kondisi seperti ini sudah semestinya diimbangi dengan ketersediaan sarana ataupun media yang dapat mengarahkan transformasi sosial para remaja kearah yang lebih konstruktif.

Namun sayangnya di Anambas para remaja tidak memiliki ruang yang memadai bagi penyaluran hasrat berekspresi, arena bermain dan berkreasi, bahkan di sekolah sekalipun. Gerakan Pramuka misalnya yang satu dekade lalu sangat berkembang di Anambas dan menjadi salah satu media penyaluran kreatifitas dan aksi sekarang seakan mati suri karena para pembinanya banyak yang sudah punya kesibukan lain atau mundur karena memang ditelan usia. Begitu juga terhadap kegiatan ekstra kurikuler lainnya seperti theatre, olah raga, sanggar tari dan lain sebagainya.

Ruang-ruang terbuka alami demikian juga adanya, laut di kota Tarempa yang dulu bersih sehingga menarik untuk dijadikan tempat rekreasi dan pelepas lelah siswa sekolah sekarang tampak kotor dengan sampah dan limbah. Ruang-ruang terbuka dan tanah bebas yang dulu adalah ruang untuk para remaja beraktivitas dan berolah raga sekarang sesak dengan bangunan milik warga. Sementara sarana pengganti seperti di kota-kota besar berupa mall, berbagai tempat kursus dan bimbingan belajar, billyard, karaoke, studio band, warnet, lapangan futsal, dan lain-lain masih nihil dari pandangan mata.

Kita patut bersyukur beberapa waktu lalu di Tarempa, ibukota kabupaten Kepulauan Anambas baru saja didirikan sebuah organisasi remaja masjid yang diprakarsai sejumlah ustadz muda. Sejak tiga minggu lalu bersama beberapa rekan sarjana lokal kami juga baru saja menghidupkan kembali sebuah radio FM komunitas, pendengar terbesar sudah bisa ditebak pastinya para remaja yang seolah-olah amat dahaga akan hiburan dan tempat “nongkrong” yang produktif. Tapi itu semua masih belum cukup, sentuhan tangan pemerintah tetap amat diperlukan bagi cakupan yang lebih luas.

Oleh karenanya melalui media ini saya ingin mengusulkan agar dalam rencana pembangunan kabupaten Kepulauan Anambas tahun depan perlu juga dipikirkan tentang kebutuhan para remaja. Adalah suatu perhatian yang luar biasa bagi para remaja jika Pemda setempat untuk tahap awal ini berkenan menyisihkan secuil dari dana pembangunan untuk mendirikan suatu gedung dan lapangan yang terintegratif seperti gelanggang remaja atau taman kota. Didalamnya mencakup lapangan futsal, theater, majalah dinding, sanggar tari, dan lain sebagainya.

Banyak bergaul dengan para remaja memberi saya input yang berharga tentang problematika dan kegelisahan yang mereka alami. Jangan sampai karena rata-rata mereka tak punya akses untuk beropini secara terbuka atau menyampaikan aspirasinya melalui pemilihan umum menjadikan mereka seakan termarginalkan dalam proses pembangunan. Mudah-mudahan dimasa-masa mendatang para remaja dapat ikut merasakan geliat pembangunan di salah satu kabupaten terkaya di Kepri ini, semoga..

Sebelumnya telah dimuat di harian Koran Peduli (KP) edisi 2 Januari 2010.
Baca Selengkapnya...