18 Februari 2009

PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN : INSPIRASI BUAT MAHASISWI

Rabu kemarin, saya baru saja menonton sebuah film berjudul “Perempuan Berkalung Sorban”. Film garapan sineas muda Hanung Bramantyo itu sempat menuai kritikan pedas dari sejumlah ulama dan kyai yang menganggap bahwa film tersebut telah melecehkan umat Islam dan kalangan pesantren. Walaupun demikian sang sutradara justru beranggapan bahwa film tersebut berkenan mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang notabenenya juga sangat dihormati oleh Islam. Untuk itu pula ketua umum PP Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin menyempat diri menonton film itu.

Kisah Anissa
Film perempuan berkalung sorban mengisahkan tentang perjuangan seorang perempuan bernama Anissa (Revalina S Temat) terhadap kungkungan yang dialami perempuan. Anissa menggugat ayahnya Kyai Hanan (Joshua Pandelaky) dan sejumlah kyai di pesantren Al-Huda Jombang yang memiliki pandangan yang konservatif. Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda itu diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Mereka melarang perempuan naik kuda, tidak boleh jadi pemimpin dan tidak secara umum tak mendapati hak-hak yang sama dengan kaum pria.

Annisa juga kecewa dengan ayahnya yang melarang ia kuliah di Jogjakarta dengan alasan karena tidak didampingi muhrimnya. Padahal terhadap kakak lelaki Annisa sang ayah sampai menjual sawah demi mengantar putranya studi di Madinah. Annisa juga memiliki pandangan yang berbeda dengan kedua kakaknya yang cenderung berpandangan konservatif dengan tidak membolehkan para santri membaca buku-buku diluar yang dianjurkan oleh ustad dan ustadzah. Tetapi diam-diam Annisa membag-bagikan sejumlah buku sastra diantaranya adalah buku berjudul Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, yang mana dilarang peredarannya oleh rezim Soeharto ketika itu.

Setelah mengalami pergolakan hidup yang tidak mudah dan sempat dituduh berzinah hingga diceraikan oleh suaminya. Anissa mencoba menapaki jalan kebebasan yang ia yakini. Ia beruntung memiliki ibu (Widyawati) yang pengertian dan cenderung sepaham dengan Anissa. Selain itu Khudori (Oka Antara) saudaranya yang meninggalkan Anissa untuk studi di Universitas Al-Azhar akhirnya kembali ke Jombang, Khudori yang sejak lama bersimpati pada Anissa kemudian menikahinya, namun sayang Khudori yang berpandangan moderat dan sangat menyayangi Annisa itu meninggal secra tragis. Jadi sebenarnya yang digugat oleh Annisa bukanlah agama Islam melainkan interpretasi ayahnya dan sejumlah gurunya terhadap Islam.

Film tersebut sangat menarik, dan layak untuk ditonton oleh perempuan masa kini, perempuan yang tak ingin hidupnya hanya berlindung di ketiak para lelaki. Perenpuan harus sadar akan hak-haknya yang setara dengan kaum pria, meski tak berarti ia harus melupakan kodratnya sebagai perempuan.

Lelaki Bukan Musuh Perempuan
Tahun lalu saya sempat mengikuti kuliah bersama Dr. Indraswari, seorang pakar Sosiologi Pembangunan dan aktifis gender. Menurutnya musuh perempuan itu bukan lekaki, bahkan lelaki sebenarnya juga adalah korban sama seperti perempuan. Musuh perempuan yang sebenarnya adalah kontruksi sosial. Cara berpikir kita selama ini telah terkonstruksi sedemikian rupa bahwa laki-laki yang bekerja dan perempuan harus berada dirumah, memasak didapur dan mengasuh anak. Padahal dewasa ini tak sedikit keberhasilan suatu pekerjaan justru karena digarap oleh perempuan.

Namun sayangnya tak semua perempuan menyadari hal tersebut. Saya punya seorang kawan yang cantik dan cukup pintar yang kebetulan juga berasal dari Kepulauan Riau. Ia dulu sangat aktif dalam berbagai aktivitas ekstra dan intra kampus. Tetapi belakangan ini ia enggan lagi beraktivitas sebagaimana biasanya dengan alasan kodratnya sebagai perempuan. Adalah pacarnya yang dengan dalih agama kemudian memberikan doktrin seperti itu. Kawan saya itu bahkan enggan bergaul dengan lelaki kecuali pacar dan kerabat dekat, nomor hp nya pun tak boleh lagi diketahui oleh teman-temannya yang berjenis kelamin lelaki.

Saya pikir kondisi ini amat merugikan dia, karena seharusnya masa-masa muda itu dinikmati diantaranya dengan membina pertemanan dengan banyak orang dan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat, bukan malah hanya diam dirumah. Tapi entah kenapa kawan saya itu seperti tak bisa berpikir jernih, dan barangkali ia terlalu larut dengan perasaan cinta yang teramat sangat hingga bersedia menghambakan diri pada kekasih hati yang belum tentu menjadi suami. Saya jadi teringat sebuah pepatah yang mangatakan Janganlah kamu menjadikan dirimu sebagai budak bagi orang lain padahal Tuhan menciptakanmu dalam keadaan yang bebas dan merdeka.

Perempuan di Anambas
Bagaimana dengan perempuan-perempuan di Anambas? Saya pikir kita beruntung karena tradisi dan budaya Melayu yang kita miliki tak mengenal diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan dulu pada masa kesultanan Riau, seorang sultan yang akan memegang tahta harus terlebih dahulu memperoleh restu oleh pemegang Cogan yakni Engku Putri atau Raja Hamidah yang tak lain adalah seorang perempuan.

Dengan terbentuknya kabupaten Kepulauan Anambas semestinya dapat mendorong para perempuan untuk berkiprah secara lebih nyata dalam pembangunan termasuk dalam politik dan pemerintahan. Sayang sebagian besar partai politik di Anambas masih enggan melibatkan perempuan sebagai calegnya meski UU parpol telah mensyaratkan 30% keterwakilan perempuan.

Saya merasa prihatin pada kawan saya diatas dan pada kebanyakan mahasiswi Anambas yang kurang menyadari pentingnya peranan kaum hawa dalam zaman modernisasi dan era yang penuh dengan keterbukaan ini meski mereka telah megecap pendidikan tinggi. Para mahasiswi Anambas hendaknya memahami bahwa mereka memegang tanggungjawab yang besar untuk memajukan kaum perempuan diwilayah ini. Oleh karena itu mulailah untuk memahami entitas diri sebagai bagian dari sistem social yang makro. Sangat tak patut jika masa-masa studi hanya dimanfaatkan untuk rutinitas akademik yang menjemukan. Apalagi tontonannya hanya infotainment dan sinetron saja. Sudah saatnya mahasiswi Anambas dan Kepri pada umumnya mulai lebih giat belajar dan terlibat langsung dalam memahami realitas sosial. Bukankan sebagian besar problematika social dan kemiskinan adalah yang masalah-masalah yang menyangkut kepentingan perempuan dan anak-anak.

3 komentar:

  1. hehehehe....
    mantap lah abg nih,lanca betol bekate2.
    sapepon narasumber klo kite tak bse ngolah org takkan faham.
    salutttt...

    BalasHapus
  2. Makaseh Lan, salam untuk kawan2.

    BalasHapus
  3. insya Allah bang...
    bng.blog alan dok ade perkembangan ni.
    guidance me...

    BalasHapus