27 Januari 2009

MEMOTRET PLURALITAS DI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

Lampion-lampion berwarna merah terang berjejer menghias sebuah pusat pertokoan di Terempa, ibukota kabupaten Kepulauan Anambas. Sementara kembang api baru saja memecah kesunyian di langit Anambas yang agak sendu namun cukup bersahabat. Sejak kemarin etnis Tionghoa di kabupaten yang baru dibentuk pada Juli 2008 ini bersuka cita menyambut tahun baru Imlek.

Etnis Tinghoa di kabupaten Kepulauan Anambas adalah yang terbesar kedua setelah suku Melayu. Populasi mereka sekitar 8-9 % dari 32.000 jumlah penduduk. Etnis Tionghoa telah menetap di Anambas sejak ratusan tahun silam. Mereka hidup membaur dengan suku Melayu dan etnis lainnya diwilayah ini. Tak terlihat ada diskriminasi diantara mereka.

Baik masyarakat Melayu maupun etnis Tionghoa di Anambas sangat menghargai keragaman. Disana, adalah hal yang biasa menjalin pertemanan antar orang Melayu dengan orang Tionghoa. Hubungan persahabatan tidak dibina berdasarkan sentiment etnis tetapi lebih karena rasa nyaman dalam berinteraksi sosial. Masyarakat Anambas bahkan tak mengenal istilah pribumi dan non pribumi dalam tatanan praktis. Disini banyak orang-orang Tionghoa yang pandai membaca Syahadat, mengucapkan istighfar dan Hamdallah. Bahkan dulu ketika saya masih di SMP ada seorang teman yang ikut menghafal Ayat Kursi ketika kami dan para siswa Muslim diminta menghafal ayat itu oleh guru agama. Mereka, orang-orang Tionghoa itu tak sungkan mengucap Assalamu’alaikum ketika masuk rumah orang Muslim.

Orang Tionghoa yang membuka kedai kopi atau rumah makan juga faham betul dengan larangan bagi umat Muslim untuk makan daging babi. Bahkan dulu ada tukang jual Sate yang selalu meminta bantuan seorang Muslim untuk memotong ayamnya, agar tak timbul keraguan bagi warga Melayu memakan sate yang dijualnya.

Dulu, ketika tahun baru Imlek atau Natal, tetangga saya yang kebetulan adalah etnis Tinghoa pengikut aliran Konghucu dan beragama Nasrani, selalu mengirim sebuah rantang yang berisi macam ragam makanan khas Imlek dan Natal. Mereka juga mengajak kami bersilaturrahmi kerumah mereka. Hal yang sama juga tentunya keluarga kami lakukan terhadap mereka.

Beberapa tahun yang lalu, teman saya yang sedang studi di Jogja datang ke Bandung untuk sekadar berwisata ria, dia yang kebetulan adalah keturunan Tionghoa itu menginap beberapa hari di kamar kost saya. Teman kost saya merasa agak heran kenapa saya bisa berteman akrab dengan “Orang China”. Saya katakan bahwa hal demikian sangat lazim dikampung kami. Setahun kemudian saya berkunjung ke Jogja, sayapun juga menginap dirumah teman kecil saya itu.

Beginilah potret pluralitas di Anambas. Keragaman itu mestinya kita maknai secara posistif, dan saya pikir entitas keragaman di Anambas adalah satu dari modal sosial yang telah kita miliki dan harus dipertahankan demi membangun kabupaten Kepulauan Anambas yang kita cintai ini.

10 komentar:

  1. Artikel yang cukup menarik, ckckckkc tidak menyangka saya mempunyai seorang teman yang cinta pada budaya melayu dan ingin melestarikannya... :) benar apa yang dikatakan penulis, budaya melayu dan tionghoa seakan udah melebur menjadi satu kebudayaan baru yang mungkin di daerah lain tidak ditemukan, tidak ada perbedaan entah dia dari suku melayu ataupun tionghoa, semuanya saling menghargai, saya sendiripun merasa beruntung punya teman-teman seperti teman waktu di tk sampai dengan smp, kita sebagai murid begitu solid dan punya rasa persaudaraan yang tinggi...

    BalasHapus
  2. di "pulau tujuh" lampion dari dulu tak ade masalah way,.....jangan sampai bikin masalah hahahahahaha,.....btw sebuah postingan yg diketahui oleh dunia luar about us,...

    slm dri sedonou

    BalasHapus
  3. Kunjungan pertama...!
    Salam kenal, ya....!

    BalasHapus
  4. Thanks bong Jun atas koment nya, bong Jun betul dari dulu takde maslh dg lampion di Pulau Tujuh, mekenye itu saye angkat dalam sebuah artikel. Mudah2an bs kite hayati sebagai satu modal sosial untuk membangun negeri kedepan. Anambas dan Pulau Tujuh pd umumnya telah mempraktekkan bagaimana cara menghargai pluaritas justru ketika orang2 di Jawa baru mewacanakannya. Jadi sekali-sekali daerah kite jad contoh bagus jg kan.

    BalasHapus
  5. mantaplah..
    memajukan daerah sendiri...
    salam dari dxd_anambas....

    BalasHapus
  6. Terimakasih Anambas Oriented, adalah tanggung jawab kita bersama untuk memajukan KKA. Setiap pihak punya caranya sendiri untuk berpartisipasi.

    BalasHapus
  7. ape pon yang wak cakap ayok kite bangon kampong kite bersame walaupun betungkus lumus....putra siantan

    BalasHapus
  8. Anonim, pastinya demikian kawan...

    BalasHapus
  9. Semoga Keberagaman etnis yang ada di kabupaten kepulauan Anambas menjadi suatu acuan bagi daerah lain. Demi terciptanya masyarakat yang rukun dan saling menghargai. Apalah artinya perbedaan tanpa saling menghargai, marilah kita bersama selaku generasi muda berikutnya saling bahu membahu untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang rukun di dalamnya.

    BalasHapus