22 April 2009

KETIKA CALEG DEPRESI

Belakangan ini sejumlah media nasional kerap memberitakan tentang para caleg yang mengalami depresi akibat gagal meraih kursi di DPD/ DPR/ DPRD. Di Kabupaten Garut misalnya ada dua orang caleg yang marah besar sambil menghujat tim suksesnya karena gagal meraih kursi, padahal yang bersangkutan sudah menebar uang banyak. Akibatnya kedua caleg tersebut sempat diamankan polisi setempat. Sebuah wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba di Purbalingga mengaku telah merawat sembilan pasien baru yang mengalami stres, enam diantaranya adalah caleg yang kalah dalam Pemilu 2009. Konon mereka kerap mengigau-ngigau sambil minta uang yang telah dikeluarkan dikembalikan lagi, bahkan ada yang selalu ingin telanjang.

Di kota Banjar seorang caleg wanita ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah, yang bersangkutan memutuskan untuk bunuh diri setelah tahu suara yang diperolehnya tak memadai. Di Gorontalo ada caleg yang over dosis mengkonsumsi obat penenang karena suara yang diperolehnya selisih tipis dengan rekan satu partainya. Masih banyak cerita lainnya tentang caleg yang stress yang kalau saya kutip semua bisa tidak cukup semalam. Belum lagi cerita soal caleg yang mengambil kembali bantuan yang sudah diberi kepada warga hanya gara-gara tak berhasil mendapat kursi legislatif.

Ceritera tentang caleg yang depresi memang sebuah fenomena baru dalam perpolitikan di tanah air. Konon pada Pemilu 2009 yang baru saja kita lewati ini, ada sekitar 7000 caleg yang berpotensi depresi. Walau angka tersebut masih patut dipertanyakan, tetapi yang pasti fenomena tentang caleg stress agak mengejutkan tapi menggelitik. Namun seperti pernah dikatakan analis Politik J Kristiadi lebih baik seorang caleg stress karena tidak terpilih ketimbang stress karena tidak kuat dengan segala intrik dan tekanan justru setelah berhasil mendapat kursi. Kononnya lagi kebanyakan dari anggota DPR 2004-2009 meninggal dunia karena stress dan serangan jantung.

Mencermati ceritera tentang caleg stress diatas saya jadi teringat sebuah teori dalam ilmu sosiologi yakni teori tentang Hirarki Kebutuhan. Menurut teori tersebut hidup kita ini mengikuti tangga kebutuhan. Anak tangga yang paling bawah adalah Kebutuhan untuk makan, anak tangga kedua adalah kebutuhan terhadap rasa aman, ketiga kebutuhan untuk bersosialisasi, keempat kebutuhan akan harga diri, dan yang kelima dimana merupakan anak tangga teratas adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Sesorang menurut teori tersebut hanya akan mungkin sampai pada tangga kedua bila mana sudah menaiki anak tangga pertama, dan baru bisa ketangga ketiga bila sudah melewati anak tangga kedua, begitu seterusnya.

Aktiitas berpolitik adalah bagian dari pengejewantahan aktualisasi diri. Dan dapat dipandang sebagai kebutuhan tertinggi dalam konteks hirarki kebutuhan. Oleh karena itu semestinya mereka yang ingin terjun kedunia politik terlebih dahulu harus telah mapan dalam hal ekonomi keluarga, termasuk dalam hal kemampuan bersosialisasi dan ketokohan. Celakannya banyak orang yang urusan priuk rumah saja belum beres malah banting stir menjadi caleg dengan dalih mau berjuang untuk rakyat. Karena ketokohan yang juga hampir tak dikenal, sang caleg butuh gizi lebih untuk bersosialisasi secara instan dan biasanya itu dilakukan dengan menebar uang. Tapi apa nyana dana kampanye yang besar yang sebagian besar diperoleh dengan berhutang atawa dengan cara jual warisan dari Mertua ludes tak bersisa sedang suara yang diperoleh tak seberapa. Tekanan ekonomi ditambah tekanan politik dan kompetisi yang demikian ketat menjadi faktor kuat yang mempengaruhi kestabilan mental seseorang, jika iman kurang tebal depresi lah jadinya.

Tahun lalu ketika musim pendaftaran caleg mulai ramai, beberapa kawan seperjuangan juga ada yang menyorong-nyorong saya supaya ikutan nyaleg untuk DPRD, tapi karena paham betul bahwa jangankan anak tangga "self actualization", anak tangga kebutuhan makan pun masih kerap megaduh. Sambil melenggang santai saya hanya menjawab this is not time for our generation.

Politik kata Harold Laswell adalah tentang who get what, when, and how, alias siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Tapi yang kerap dilupakan orang adalah "Why" alias mengapa. Padahal Why adalah Nawaytu-nya atau motivasi seseorang untuk terjun dalam politik prakis. Jika memang tujuannya adalah dalam rangka ikut melayani masyarakat serta mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Jika tak dipilih..? semestinya ya..legowo saja.

Ngomong-ngomong pada pemilu kali ini di Anambas ada 128 caleg yang memperebutkan 20 kursi DPRD. Lima diantaranya adalah kerabat dekat saya, dan puluhan lainnya adalah teman dan handai taulan yang saya kenal baik. Sampai hari ini saya tak tahu pasti apakah mereka berhasil meraih kursi panas yang diidamkan, tetapi harapan saya jikapun gagal jangan sampai ada yang depresi. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar