11 Januari 2009

TIGA PILAR PEMBANGUNAN ANAMBAS

Setelah sempat berlarut-larut, Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan undang-undang pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas bersamaan dengan 11 daerah lainnya. Keputusan ini tentu saja disambut dengan suka cita seluruh masyarakat Anambas. Sudah sepatutnya apresiasi yang setingi-tingginya disampaikan kepada Badan Pembentukan dan Penyelaras Kabupaten Kepulauan Anambas (BP2KKA) yang telah sukses menggalang soliditas perjuangan masyarakat Anambas. Bagi penulis pengukuhan Anambas sebagai daerah otonom bukan hanya kemenangan masyarakat Anambas tetapi seluruh masyarakat Natuna dan Kepulauan Riau pada umumnya dalam rangka mereduksi hegemoni Jakarta di tanah Kepri.

Pemekaran Daerah dari Perspektif Administrasi
Namun demikian euforia masyarakat hendaknya diekspresikan dengan cara yang tidak berlebihan. Masyarakat dan pihak-pihak manapun yang sebelumnya berpolemik panjang termasuk otoritas politik lokal di daerah induk mesti melihat pemekaran daerah dalam konteks yang wajar. Pembentukan suatu daerah otonom berpisah dari daerah induknya tidak usah dilihat dalam konteks keberhasilan memerdekakan diri atau meminjam istilah Ryaas Rasyid disebut sebagai “separatisme lokal” yang mana lebih banyak didorong oleh spirit primordialisme, etnosentrisme, dan politik pragmatis para elit.

Pemekaran daerah harus dilihat dalam konteks pengembangan kewilayahan untuk mengakselerasi pembangunan secara umum. Dari perspektif administrasi pembangunan pembentukan ataupun penggabungan daerah dapat dilihat sebagai dinamisasi perubahan sosial yang terencana. Pada suatu masa tertentu bisa saja dilakukan pembentukan dan penyederhanaan organisasi pemerintahan daerah. Siagian (1988) mengatakan, Jika kebutuhan pembangunan menuntut penyederhanaan, penyederhanaanlah yang akan dilaksanakan. Akan tetapi jika penilaian obyektif atas kebutuhan pembangunan menuntut pembentukan organisasi baru, jalan ini pun harus dapat ditempuh.

Kebijakan pemekaran daerah jika dilihat dari penilaian yang obyektif tentunya akan mendatangkan sejumlah manfaat dan berpengaruh signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Simabura (2005) mengidentifikasikan setidaknya enam keunggulan dari kebijakan pemekaran daerah yaitu: (1) mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan; (2) Mendekatkan pelayanan publik dari pemerintahan terhadap masyarakat; (3) memperpendek jarak komunikasi antara masyarakat dan pemerintah (4) menciptakan kemandirian pemerintahan daerah dan masyarakat (5) menciptakan suasana kompetitif antar daerah (6) meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan partisipasi.


Tiga Pilar Utama
Sebagai daerah otonom baru, pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas kelak akan menghadapi persoalan dan tantangan yang berat. Maklum, dibanding daerah-daerah lain dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Anambas adalah daerah yang masih terbelakang, terisolir, dan miskin. Meski demikian daerah tersebut memiliki potensi sumber daya alam yang besar, dan merupakan daerah penghasil migas di Kep. Riau. Oleh sebab itu pembentukan Anambas harus dijadikan new strategi pembangunan untuk menghapus keterbelakangan, keterisoliran dan kemiskinan.
Menurut penulis ada tiga hal fundamental yang harus menjadi roh dalam melaksanakan pembangunan berbagai bidang di Kabupaten Kepulauan Anambas kedepan.

Pertama, Melaksanakan sistem pendistribusian pembangunan yang merata dan berkeadilan. Ibukota cukuplah di fungsikan sebagai pusat pemerintahan, sementara sektor-sektor pembangunan lainnya harus disebar secara merata ke semua wilayah dengan memperhatikan keunggulan lokal. Paradigma pembangunan yang memfungsikan ibukota sebagai pusat segala aktifitas harus direkonstruksi. Anambas harus belajar dari kekeliruan daerah-daerah lain yang menjadikan ibukotanya sebagai pusat kekuasaan, perdagangan, industri, pariwisata, hiburan, bahkan pusat kemaksiatan dan korupsi. Jika pemerataan pembangunan dilakukan dengan sungguh-sunggu maka tidak perlu ada tuntutan pemindahan ibukota, atau tuntutan untuk manyatakan berpisah dari Anambas. Disparitas pembangunan yang menganga selalu berpretensi menciptakan konflik sosial dalam berbagai dimensi.

Kedua, Mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik yang memiliki multiplying effect, yaitu sarana dan prasana yang berdampak luas untuk mendorong pembangunan ekonomi rakyat, meningkatkan mobilitas masyarakat, dan berdampak pada pembangunan sektor-sektor lainnya. Jika memperhatikan realitas Anambas maka yang paling dibutuhkan saat ini adalah pembangunan jalan, jembatan, perumahan, dan pelabuhan.

Pembangunan proyek-proyek mercu suar seperti mendirikan monument yang kaya ornament, gedung pemerintahan yang menawan, atau rumah ibadah yang megah bak di kota suci Madinah, tentu boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi hendaknya didasarkan pada azas prioritas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jangan sampai ketika petinggi negeri terkagum-kagum dengan proyek mercusuar disaat yang bersamaan keterisoliran, keterbelakangan, dan kemiskinan masih mendera.

Ketiga, menjadikan pendidikan sebagai pembangunan unggulan. Sebagai daerah yang tengah membangun masyarakat Kepri khususnya Anambas harus terbuka dengan warga Indonesia dari penjuru manapun, dan dari suku apapun. Kita tidak bisa dengan sinisme kedaerahan melarang orang mengadu peruntungan dalam bidang-bidang perniagaan, politik, dan pemerintahan di tanah kelahiran kita. Hanya dengan kualitas edukasi yang mumpuni masyarakat tempatan akan sanggup berhadap-hadapan dalam kompetesi regional secara fair. Hanya dengan kualitas pendidikan, kita kan sanggup berkata “kami pantas karena kapabilitas”, dan lebih baik menjadi tuan di negeri sendiri daripada menjadi penonton yang gigit jari.

Akhirnya pembentukan Anambas sebagai daerah otonom harus dilihat dalam konteks melaksanakan kebijakan otonomi-desentralisasi. Prof. Ateng Syafrudin mengatakan desentralisasi mengandung makna adanya pengakuan dari penentu kebijaksanaan pemerintahan negara terhadap potensi dan kemampuan daerah. Sehingga melaksanakan desentralisasi adalah tidak lain untuk menumbuhkan kebiasaan yang baik dalam menyerap, merumuskan dan mengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam lingkup daerah sendiri. Kata Legowo (2003) a successful process of decentralization would result subsequently in the establishment of governance at local level.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar