18 Februari 2011

LIMA MALAM DI NEGERI SIAM

Hajat untuk berkunjung ke Thailand sudah ada sejak semasa di universitas dulu, namun karena keterbatasan dana dan waktu niat itu terpaksa diurungkan, dan baru beberapa waktu lalu dapat saya lakoni. Jauhnya perjalanan yang harus ditempuh dari Anambas tidak menghalangi saya untuk meneguk keeksotikan negeri yang pernah dipimpin Raja Mongkut itu, karena budget yang amat terbatas maka liburan ala backpacker pun jadi pilihan yang pas.

Lawatan Singkat ke KL, Tq Ncik Saufi

Perjalanan ini saya mulai dengan menyeberang dari Tanjung Pinang ke pelabuhan Situlang Laut-Johor Baharu-Malaysia bersama dua orang kawan (Fajrin Meirsa dan Robby Suryawan), kami memilih naik ferry Marina dengan harga tiket Rp.250.000,- per orang. Waktu tempuh dari Tanjung Pinang ke Johor hanya 2,5 jam. Dari Johor kami langsung menuju ke Larkin Terminal, untuk kemudian naik bis menuju Kuala Lumpur. Harga tiket Johor-KL kurang lebih Rp.90.000,- Setelah menempuh waktu 5 jam kami pun tiba di Terminal Pudu Raya. Usai bersantap sekejap, kami dijemput oleh Ncik Muhd Saufi Hussain, seorang warga negara Malaysia yang ternyata juga gemar travelling.

Di KL setelah sebelumnya menikmati makan malam di sebuah restoran China, oleh Ncik Saufi kami diajak berkeliling melihat-lihat twin tower KLCC, maha karya pemerintahan Mahathir yang amat popular bagi wisatawan dan businessman itu. Namun sayang karena malam hari kami tak dapat masuk ke KLCC tower. Dalam waktu yang relatif singkat Ncik Saufi berusaha keras memuaskan dahaga kami untuk sekadar melihat-lihat dan berfoto dari sudut yang pas untuk memperoleh pemandangan monumental KLCC dan KL tower serta sejumlah bangunan bersejarah lainnya. Penat berkeliling KL, kami kemudian melepas lelah di kediaman Ncik Saufi yang terletak di kawasan Sri Petaling, Kuala Lumpur.

Keesokan harinya sehabis sarapan roti canai khas Melayu, Ncik Saufi kemudian mengantar kami ke Stasiun Sky Train yang akan mengantarkan kami ke Airport untuk kemudian terbang dengan Air Asia menuju Phuket-Thailand.

Eksotiknya Phuket dan Phang Nga

Usai menempuh sekitar 1 jam perjalanan yang menelan cost Rp.880.000 (elok pesan tiket lebih awal supaya dapat harga yang lebih murah), akhirnya kaki ini menginjak tanah Phuket yang memikat. Pantai-pantainya yang eksotik nan panjang membentang telah tampak sejak kami masih di atas pesawat. Dari Air Port kami langsung menuju kawasan Pattong, dan chek in di sebuah hotel tak jauh dari Pattong Beach, Benetty House, harga kurang lebih Rp.200.000,- per orang/ permalam. Usai beristirahat sejenak, dengan kendaraan khas negeri itu yang biasa dipanggil Tuk Tuk kami langsung tancap gas berkeliling kawasan Pattong, sambil menikmati makanan Thai dan berbelanja beberapa barang pribadi. Malam harinya kami jelajahi kawasan Bangla Road. Dijalan yang penuh sesak wisatawan asing itu, pengunjung ditawari bermacam-macam show, mulai dari show art yang konvensional sampai yang agak nakal. Makan malam kami beranikan untuk mencicipi masakan India. Setelah penat menikmati kawasan Bangla Road yang semakin malam semakin ramai, kami putuskan untuk bersantai di sebuah bar kecil tak jauh dari hotel tempat menginap, sebelum akhirnya tertidur pulas.

Keesokannya harinya, pagi-pagi sekali kami langsung menuju Pantai Patong, sekadar jogging sambil melihat-lihat keindahan alam dan berbincang-bincang tentang prospek Anambas menjadi kawasan wisata yang memukau seperti Phuket, sebelum akhirnya bersantap pagi di sebuah Restoran Thai. Tepat jam 10 sebuah mobil van menjemput kami di hotel. Ya, hari ini kami membeli satu paket tour ke Phang Nga, untuk melihat James Bond island yang terkenal itu. Menghabiskan waktu kurang lebih 1,5 jam kami kemudian tiba di Monkey Cave (Suwankuha Temple), puas melihat-lihat dan berfoto dengan latar Sleeping/ reclining Budha, gua yang sejuk dan juga monyet-monyet yang lucu, perjalanan kembali diteruskan ke Koh Panyee, yakni sebuah perkampungan Muslim terapung. Makan siang pun kami nikmati tanpa keraguan di kawasan itu. Dari Koh Panyee, kami digiring menuju sebuah Kapal yang berlabuh di laut, untuk kemudian diajak mengitari gua dengan kano. Pemandangannya sungguh indah, ditambah lagi driver yang walau bahasa Inggrisnya terbata-bata cukup antusias mengajak berbincang terutama setelah tahu bahwa kami bertiga adalah juga Muslim seperti dirinya, yang datang dari Indonesia. Mungkin karena merasa kurang yakin, saya ditantangnya untuk membaca beberapa surat pendek dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tanpa lelah driver yang masih berusia 20an tahun itu pun terus mendayungkan kano untuk kami sambil bercerita tentang keluarganya dan yang pasti tentu keseharian warga Thailand di Phuket, juga tentang gua yang kami kelilingi itu tentunya. Perjalanan tambah asyik sambil menikmati es kelapa muda yang saya beli dari sebuah kios apung di kawasan itu.

Lepas berkano, kami kemudian diajak menuju ke James Bond island. Perjalanan menuju James Bond sungguh luar biasa, tanaman mangrove dan bukit-bukit batu yang jangkung menjulang tampak seakaan berbaris mengawal perjalanan kami. Pulau James Bond ternyata nama aslinya adalah Ko Tapu yang berarti pulau Paku, mungkin karena bentuknya tegak lurus seolah paku yang menancap. Namun lebih dikenal dengan nama James Bond island, ini karena pulau kecil itu pernah digunakan sebagai lokasi syuting film James Bond 007 yang berjudul “The Man with Golden Gun” yang dibintangi oleh Roger Moore pada tahun 1974. Oh ya, harga untuk tour ke James Bond Island berkisar 800-1500 Bath, tergantung kepandaian bernegosiasi dan agen yang kita pilih.

Enjoy Bangkok

Karena sudah langsung chek out, sehabis dari James Bond island, kami bergegas menuju Phang Nga Town, kemudian naik bis malam menuju Bangkok. Sedang harga tiket untuk kelas ekonomi ber AC kurang lebih 400 Bath atau sekitar Rp.120.000,- untuk bis VIP dua tingkat, harga tiketnya dua kali lipat dari harga tersebut. Setelah 10 jam perjalanan, kamipun tiba di Bangkok dan langsung menunju kawasan Khaosan Road, daerah dimana para backpacker dari berbagai negara mangkal. Di Bangkok kami bermalam di Swashdee House, harga kamar permalam untuk bertiga 1150 Bath atau sekitar Rp.345.000,- Lepas bersantap pagi, kami langsung menjejali jalanan kota Bangkok, lagi-lagi dengan tuk-tuk. Berkunjung singkat ke Lucky Budha Temple, melihat-lihat gallery permata dan proses pembuatannya, bertandang ke fashion gallery dan berujung di Chatuchak weekend market. Pasar pedagang kaki lima/ kios yang hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu. Konon Chatuchak adalah pasar PKL terbesar di Asia Tenggara. Harga barang di Chatuchak lebih murah jika dibanding dengan harga rata-rata barang sejenis di Jakarta/ Bandung, dan yang membuat kita sungguh nyaman berbelanja adalah areanya yang bersih. Pengunjungnya pun kebanyakan adalah anak-anak muda yang trendy dan turis manca negara.

Di Chatuchak ada satu pengalaman menarik yang saya dan kawan-kawan temui, ketika sedang duduk-duduk melepas penat sambil makan pancake, tepat pukul 18.00 tiba-tiba semua pungunjung berdiri serentak, sambil meletakkan genggaman tangan di dada kiri. Belakangan baru saya tahu bahwa setiap hari pada pukul 8 pagi dan 6 sore, warga Thailand biasa menyanyikan lagu kebangsaan mereka sebagai wujud dari rasa patriotisme.

Hari kedua di Bangkok, kami habiskan dengan menjelajahi pusat kota, dan mampir ke MBK, mall favoritnya orang Indonesia. Ketika hendak menonton film Thai di bioskop, saya lagi-lagi tarkejut, karena sesaat sebelum film dimulai tiba-tiba seluruh pononton berdiri, dan seketika dihadapan kami diputarkan film documenter singkat tentang perjalanan Raja Bhumibol Adulyadej, yakni Raja yang berkuasa di Thailand saat ini, konon hal ini adalah bentuk rasa cinta dan kesetiaan rakyat Thai terwadap rajanya. Pulang dari MBK kami habiskan malam dengan berkeliling di kawasan Khaosan Road, makan malam di disebuah cafe sambil duduk-duduk memandangi ratusan backpacker yang tak henti-hentinya berlalu lalang, mulai dari yang seksi, sampai yang kumel seolah sudah berapa hari tak mandi. Mulai dari yang datang sendiri dengan bag dipunggung, sampai yang menggendong anaknya yang masih Batita, sebagian besar mereka adalah backpacker dari Amerika dan Eropa, dan yang lainnya lagi adalah warga Korea serta negara Asia lainnya.

Hari ketiga di kota yang bernama asli Krung Thep Maha Nakhon itu, kami mulai dengan menandangi Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok, kunjungan kami tak lain adalah berkonsultasi tentang persoalan keimigrasian yang kami hadapi, disamping itu juga pastinya untuk memanjakan perut ini dengan tahu tempe dan ayam goreng khas tanah air. Dari Kedutaan kami telusuri kawasan Petchaburi, masuk ke jalan-jalan kecil melihat-lihat the real life of Thai People, sebelum akhirnya berfoto ria di beberapa monument, taman, dan gedung parlemen negara yang secara administratif terbagi kedalam 72 provinsi itu. Malam harinya kami habiskan dengan menontot salah satu art show di pusat kota, kemudian menjawab rasa lapar dengan menikmati sea food tak jauh dari gedung pertunjukkan, kami sempatkan pula untuk merasakan Thai massage yang membuat pikiran plong dan badan segar kembali.

Hari terakhir di Bangkok yang juga hari terakhir penjelajahan kami di negeri gajah putih ini kami habiskan dengan mengambil paket tur ke Ayutthaya yang berarti kota suci, harga paketnya 650-700 Bath, dan lama perjalanan kurang lebih 2 jam. Tempat yang kami kunjungi adalah Bang Pa In Palace, yang merupakan istana musim panas raja Thailand tempo dulu. Kawasan istana sungguh luas, asri dan bangunannya indah. Perjalanan kami teruskan ket Wat Yai Chaimongkhon yang khas dengan patung Budha Tidurnya. Kemudian ke Wat Maha That yang dulunya adalah pusat spiritual di Ayutthaya. Terus ke Wat Lokayasuttharam atau Reclining Budha, yang membedakan adalah disini Budhanya menggunakan bantalan teratai dan ukurannya juga sangat panjang.

Setelah makan siang, perjalanan diteruskan ke Wat Phra Si Sanphet. Meskipun hanya tinggal reruntuhannya saja tapi kemegahan dan keindahannya masih bisa kita lihat dan rasakan. Disini terdapat tempat penyimpanan abu King Boromatrailokana dan kedua anaknya, juga bisa melihat rumah asli raja Ayutthaya, dan pertunjukan gajah.

Usai menyelusuri provinsi Ayutthaya kami langsung menuju Airport Shuvarnabhumi, wow.. airportnya megah dan bersih luar biasa, setelah lolos dari pemeriksaan imigrasi yang amat sangat ketat kamipun terbang ke Singapura. Kami habiskan waktu semalam di sebuah hotel di Jalan Dickson, dekat Jalan Besar, harga hotel disini sangat mahal dibanding di Indonesia atau Thailand, untuk kelas tak berbintang saja bisa mencapai 115$ atau setara Rp.800.000. Keesokan harinya kami langsung menuju ke Port Tanah Merah untuk menyeberang ke Tanjung Pinang. Dan kami pun pulang dengan selamat, dan yang pasti tumpukan pekerjaan sudah menanti....

1 komentar:

  1. mantap wak...main jg ke blog

    http://anambasku.wordpress.com

    ni wak...hehehe

    BalasHapus