10 Juli 2009

MEMBANGUN ORGANISASI KEDAERAHAN YANG INKLUSIF

Kebijakan otonomi daerah yang telah diberlakukan sejak satu dekade lalu memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan masyarakat lokal. Desentralisasi yang berjalan seiring implementasi otonomi daerah tidak hanya berarti transfer of power dari pusat ke daerah namun juga memberi kesempatan yang luas bagi masyarakat (civil society) untuk mengaktualisasikan nilai-nilai lokal yang lama termarginalkan oleh Orde Baru. Realitas ini disatu sisi amat konstruktif, tapi pada sisi yang lain kerap pula bersenyawa dengan over etnosentrisme dan spirit kedaerahan yang melampau. Realitas inilah yang akhir-akhir ini juga menghinggapi sebagian dari mereka yang mengaku dirinya sebagai intelektual muda.

Organisasi Mahasiswa Beorientasi Kedaerahan.
Sejak tahun 2000-an sejumlah pemerintah daerah di Indonesia khususnya di luar Jawa memang telah menaruh perhatian besar kepada para mahasiswanya yang sedang studi diluar daerah asal. Sebagai misal mahasiswa asal provinsi Kepulauan Riau yang sedang melanjutkan studi di kota Bandung. Setiap kumpulan mahasiswa kabupaten dan kota se-Provinsi Kepulauan Riau memiliki asrama tersendiri. Ada yang disewa atas bantuan pemerintah daerah, ada pula yang dibantu sekadarnya. Bahkan ada asrama yang sengaja dibeli oleh Pemda dengan harga milyaran Rupiah.

Namun sayangnya fasilitas yang diberikan Pemda itu membuat sebagian kumpulan mahasiswa asal Kepri itu menjadi eksklusif. Mereka seolah berada dalam aquarium-aquarium yang tembus pandang, tetapi mengurung badan. Sungguh aneh ada organisasi kemahasiswaan dari daerah A melarang anggotanya berafiliasi dengan organisasi kemahasiswaan dari daerah B. Padahal mereka masih berada dalam satu provinsi, sama-sama orang Melayu, sama-sama beragama Islam, bahkan dulunya sebelum pemekaran daerah merupakan satu kesatuan wilayah. Lebih aneh lagi bila seorang anggota organisasi yang kebetulan salah satu orang tuanya berasal dari daerah A sedang lainnya dari daerah B, si anak diminta untuk memilih menjadi anggota hanya pada salah satu organisasi kemahasiswaan daerah A atau daerah B, tidak boleh kedua-duanya.

Anggota organisasi mahasiswa daerah A hanya boleh aktif di organisasi A, tidak di B tidak pula C. Tak peduli jika mahasiswa tersebut berkerabat dengan mahasiswa dari daerah B atau sahabat-sahabatnya aktif di organisasi mahasiswa daerah C. Pokoknya A ya… A, dan B ya… B.

Bagi saya sikap yang demikian bukan saja menggambarkan suatu pemikiran yang sempit tetapi telah mengarah pada prilaku yang rasis. Pandangan organisasi kemahasiswaan yang menjadikan asramanya atau kumpulan mereka hanya untuk mereka tok, dan menutup diri pada mahasiswa dari daerah lain terutama daerah yang masih bertetangga, masih se-provinsi, masih sesuku, masih sebahasa, dan masih seagama, serta memiliki ikatan gineologis adalah gejala rasisme yang ekstrem agak mirip dengan pemerintah Zionis yang menginginkan negara Israel hanya untuk bangsa Yahudi, atau seperti Jerman dimasa Hitler yang menginginkan negara Jerman hanya untuk ras Arya.

Inklusifisme KPMA Bandung
Saya bersukur Keluarga Pelajar Mahasiswa Anambas (KPMA) Bandung dibawah kepemimpinan Ketua Umum Matari Yasinullah Hasibuan (putra Melayu keturunan Batak) dan ketua DPPA Sasmiyanto (Melayu tulen yang meminjam nama Jawa) konsisten mempertahankan sikap inklusif organisasi yang sejak awal kami tanamkan. Asrama mahasiswa Anambas meski pada dasarnya ditujukan terutama dan paling utama untuk kepentingan mahasiswa asal kabupaten Kepulauan Anambas, namun tetap memberi ruang kepada mahasiswa dari daerah lain untuk tinggal bersama mereka. Asalkan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga Anambas, atau mahasiswa asal kabupaten/ kota lain di Provinsi Kepulauan Riau yang meski tidak memiliki hubungan kekerabatan namun sudi berintegrasi dan komit dengan cita-cita bersama yakni membangun persaudaraan di tanah rantau, dan berdasarkan semangat menuntut ilmu pengetahuan ikut berkontribusi dalam pembangunan Anambas. Tentu saja tanpa merampas hak-hak mereka untuk juga terlibat dalam organisasi daerah asalnya.

KPMA Bandung meski sejatinya merupakan organisasi yang berorientasi kedaerahan tetapi tidak boleh menjadi organisasi yang eksklusif melainkan harus inklusif terlebih kepada mereka yang nyatanya adalah saudara-saudara kita juga. Sikap demikian dibutuhkan oleh Anambas sebagai kabupaten baru yang sedang dalam tahap awal pembangunan. Persahabatan kita dengan rekan-rekan mahasiswa dari daerah lain harus terus dibina, siapa tahu pertautan mereka dengan kita pada masa sekarang, kelak justru membuka ruang investasi akibat cerita dan kesan mereka tentang Anambas yang telah mereka sebar kepada rekan atau keluarga di daerah asal mereka. Andaipun espektasi yang demikian terlalu muluk setidaknya kita telah membina perkawanan baru dengan orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal. Raja Ali Haji dalam karyanya Gurindam XII yang termasyhur berkata Cahari olehmu akan kawan, pilih segala orang yang setiawan.

Namun saya belum cukup puas dengan paradigma berpikir KPMA yang positif ini. Saya mengharapkan perspektif organisasi yang inklusif dan nilai-nilai pluralitas harus terus dikembangkan dimasa-masa mendatang. Jika suatu masa KPMA Bandung mendapat fasilitas asrama yang lebih besar dan jauh lebih memadai saya berharap kita semua berkenan berbagi ruang dengan satu atau dua mahasiswa yang tidak hanya berbeda kabupaten dengan kita, tetapi berbeda provinsi, berbeda suku, berbeda bahasa, bahkan berbeda agama.

Mengutamakan mahasiswa Anambas untuk terlebih dahulu menikmati fasilitas yang diberikan pemerintah daerah Anambas itu adalah sebuah keharusan. Kecintaan KPMA terhadap Anambas sebagai daerah asal kita juga amat sangat penting. Tetapi sungguh tidak bijak jika spirit yang pro terhadap daerah asal itu justru berkembang menjadi pandangan kedaerahan yang super eksklusif, over etnosentrime, atau rasisme lokal yang amat membahayakan integrasi nasional.

3 komentar:

  1. wah pertaman...nih...

    salah satu semangat otonomi daerah adalah memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada putra daerah...

    gootpost..bile nak boleh anambar...??

    BalasHapus
  2. betol-betol-betol-betol-betol-betol-betol

    sepertinya hal ini merupakan pengalaman dari sejarah perjalanan KPMA bandung yang tergusur akibat pandangan yang sempit dari.......... hehehehehe

    namun terlepas dari permasalahan itu menurut saya tidak semua organisasi yang berbasis primordial berpikiran sempit, kolot dan tidak membangun seperti itu.


    semoga hal tersebut tidak terjadi di dalam organisasi mahasiswa anambas di seluruh indonesia

    AMIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNNNN

    BalasHapus
  3. Rizal, sepakat kawan, balek Anambas? as soon as possible.

    Anonim, pastinya ada banyak organisasi berbasiskan primordial yang berpikiran terbuka dan inklusif tentunya.

    Aamiin....., komentarnya bagus om, nanti sebaiknya cantumkan nama...

    BalasHapus