Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) pada 24 Juni lalu ternyata tidak menjadikan Anambas secara otomatis berhak mendapatkan DBH Migas. Meski sebelumnya telah ada kesepakatan antara pemerintah Kabupaten Natuna sebagai kabupaten induk dengan para penggagas KKA tentang pembagian DBH, ternyata KKA masih harus gigit jari. Alokasi DBH Migas yang dikeluarkan Departemen Keuangan pada triwulan keempat, Kabupaten Kepulauan Anambas ternyata hanya dapat Rp. 0.
Persoalan DBH migas memang telah lama mengemuka. Konon hal ini pula yang menjadi alasan Bupati Natuna, Daeng Rusnadi menolak pemekaran Anambas dari kabupaten Natuna beberapa waktu lalu. Walau ketika hendak maju pada Pilkada Natuna tahun 2006, didepan tokoh-tokoh Anambas Daeng berikrar setuju. Tapi siapa sangka setelah berhasil duduk di kursi N 1. Daeng yang juga seorang alim ulama itu ingkar tanpa malu. Dengan berbagai dalih Daeng berusaha menjegal Anambas. Tapi perjuangan yang solid dari segenap masyarakat Anambas akhirnya pemerintah pusat pada 24 Juni 2008 menetapkan UU. 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas di Provinsi Kepulauan Riau.
Alasan yang paling pokok penolakan Daeng terhadap KKA memang karena persoalan Migas. Pasalnya kekayaan alam migas yang selama ini digadang-gadangkan Pemkab Natuna, kegiatan pengekspolorasiannya berada di wilayah Anambas. Jika Anambas berpisah dari Natuna dan berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom. Tentu DBH Migas yang selama ini diterima Natuna akan beralih ke Anambas. Padahal selama ini DBH Migas menyumbang lebih dari 90 persen APBD Natuna yang tiap tahunnya berkisar Rp. 700 milyar sampai 1 triliun lebih.
Namun masyarakat Anambas tak mau mengedepankan egonya. Karena mereka pada dasarnya menginginkan pemekaran daerah mendatangkan kemaslahatan bagi semua. Tidak hanya untuk Anambas tetapi juga si induk Natuna. Untuk itu dibuatlah kesepakatan yang pada intinya membagi DBH Migas dengan formulasi 60 persen untuk Natuna dan 40 persen untuk Anambas. Kesepakatan tersebut tertuang dalam surat BP2KKA nomor 209.3/ANAMBAS/IV/2008 tanggal 23 April 2008 perihal persetujuan dan permohonan tentang DBH Migas, yang ditandatangai oleh Ketua Umum BP2KKA Prof. Dr. M. Zein, Sekretaris BP2KKA Wann Saros, Wakil Bupati Natuna Raja Amirullah, Wakil Ketua DPRD Natuna Wan Zuhendra, Pemprov Kepri yang diwakili Asisten Tata Praja Kepri Tengku Mukhtaruddin, dan Ketua DPRD Kepri Nur Syafriadi. Formulasi tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk dan luas wilayah, yang mana Natuna memiliki penduduk yang lebih banyak dan wilayah yang lebih luas dari Anambas.
Kabupaten Kepulauan Anambas Dikebiri
Setelah KKA terbentuk, Pemkab Natuna kembali ingkar janji. Alokasi DBH Migas yang dikeluarkan Departemen Keuangan, jatah DBH Migas triwulan IV yang mesti diterima Kabupaten Natuna sebesar Rp193 miliar. Jika kesepakatan awal direalisasikan, paling tidak Rp77 miliar akan masuk ke kantong Anambas. Tapi nyatanya Anambas tak dapat sepersenpun.
Kini pemerintah KKA dan segenap masyarakat Anambas terus berjuang untuk mendapatkan haknya. BP2KKA sebagai lembaga non gorvernment yang sebelumnya melakukan advokasi pembentukan KKA juga giat berusaha untuk mendapat kompensasi DBH Migas.
Masyarakat Anambas tak sendiri, Gubernur Kepri juga kabarnya mendukung perjuangan masyarakat KKA. Melalui surat bernomor 0616/kdhkepri.905/12.08 tertanggal 2 Desember 2008 menyurati Menteri Keuangan. Gubernur Kepri mendukung upaya Pemkab Kepulauan Anambas yang mengharapkan kucuran DBH Migas triwulan IV TA 2008 demi kelancaran pelaksanaan roda pemerintahan di kabupaten baru itu. Malah, dalam surat tersebut, gubernur Kepri menyatakan bahwa lokasi sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas alam (Lapangan Udang dan Lapangan Kerisi) lebih dekat dan berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas.Tak hanya Gubernur, DPRD Kepri pun bersikap senada.
Mimpi Daeng Rusnadi Kuasai Migas Anambas.
Daeng memang tokoh politik yang tak takut menerjang badai. Setelah sebelumnya menghambat pembentukan provinsi Kepri. Bahkan berniat membentuk provinsi sendiri ketimbang bergabung dengan Kepri. Kemudian ia juga menghadang pembentukan KKA. Kini ia juga tak rela berbagi DBH Migas dengan KKA. Padahal tikuspun tahu bahwa kegiatan eksplorasi migas berada di wilayah Anambas. Kalau tidak untuk apa perusahaan-perusahaan pengeksplorasi migas itu (Conoco Philips, Star Energi dan Primeir Oil) memilih pulau Matak sebagai lokasi anjungan minyak (offshore) atau basecamp penambangan mereka. Pilihannya tentu karena alasan efisiensi, sebab letak pulau Matak (salah satu pulau dalam gugus kepulauan Anambas) yang lebih dekat dengan sumur-sumur Migas. Sedang Natuna agaknya harus menunggu sampai blok Natuna D Alpha di kelola dulu, dan pulau Bunguran dijadikan sebagai basecamp.
Tapi sekencang apapun usaha yang dilakukan Daeng Rusnadi dan konco-konconya pasti akan gagal. Apalagi kabarnya pihak konsorsium juga mendukung langkah yang dilakukan Pemkab Anambas untuk mendapatkan DBH Migas. Konsorsium tentu tak mau repot, apalagi tersiar kabar bahwa jika KKA tak dapat DBH Migas masyarakat Anambas akan memblokade basecamp konsorsium di pulau Matak. Tentu hal tersebut tidak diinginkan.
Saya optimis KKA pasti akan mendapat kompensasi yang layak sesuai peraturan perundang-undangan. Namun sebagai bagian dari komunitas masyarakat Anambas kita tetap harus melihat problema ini dengan arif. Dan kelak jika KKA telah mendapat DBH Migas, saya berharap Natuna juga tetap mendapatkannya atau diterapkan formula sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Sebab pemekaran daerah prinsipnya tak boleh mematikan daerah induk. Jika daerah induk sampai miskin bukan tak mungkin KKA digabung kembali dengan Natuna. Sedang Daeng Rusnadi si “Raja Bunguran”, pasca di obok-obok KPK beberapa waktu lalu saya kira hanya tinggal nunggu waktu saja. Cepat atau lambat... hotel prodeo sudah menanti….
Baca Selengkapnya...
Persoalan DBH migas memang telah lama mengemuka. Konon hal ini pula yang menjadi alasan Bupati Natuna, Daeng Rusnadi menolak pemekaran Anambas dari kabupaten Natuna beberapa waktu lalu. Walau ketika hendak maju pada Pilkada Natuna tahun 2006, didepan tokoh-tokoh Anambas Daeng berikrar setuju. Tapi siapa sangka setelah berhasil duduk di kursi N 1. Daeng yang juga seorang alim ulama itu ingkar tanpa malu. Dengan berbagai dalih Daeng berusaha menjegal Anambas. Tapi perjuangan yang solid dari segenap masyarakat Anambas akhirnya pemerintah pusat pada 24 Juni 2008 menetapkan UU. 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas di Provinsi Kepulauan Riau.
Alasan yang paling pokok penolakan Daeng terhadap KKA memang karena persoalan Migas. Pasalnya kekayaan alam migas yang selama ini digadang-gadangkan Pemkab Natuna, kegiatan pengekspolorasiannya berada di wilayah Anambas. Jika Anambas berpisah dari Natuna dan berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom. Tentu DBH Migas yang selama ini diterima Natuna akan beralih ke Anambas. Padahal selama ini DBH Migas menyumbang lebih dari 90 persen APBD Natuna yang tiap tahunnya berkisar Rp. 700 milyar sampai 1 triliun lebih.
Namun masyarakat Anambas tak mau mengedepankan egonya. Karena mereka pada dasarnya menginginkan pemekaran daerah mendatangkan kemaslahatan bagi semua. Tidak hanya untuk Anambas tetapi juga si induk Natuna. Untuk itu dibuatlah kesepakatan yang pada intinya membagi DBH Migas dengan formulasi 60 persen untuk Natuna dan 40 persen untuk Anambas. Kesepakatan tersebut tertuang dalam surat BP2KKA nomor 209.3/ANAMBAS/IV/2008 tanggal 23 April 2008 perihal persetujuan dan permohonan tentang DBH Migas, yang ditandatangai oleh Ketua Umum BP2KKA Prof. Dr. M. Zein, Sekretaris BP2KKA Wann Saros, Wakil Bupati Natuna Raja Amirullah, Wakil Ketua DPRD Natuna Wan Zuhendra, Pemprov Kepri yang diwakili Asisten Tata Praja Kepri Tengku Mukhtaruddin, dan Ketua DPRD Kepri Nur Syafriadi. Formulasi tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk dan luas wilayah, yang mana Natuna memiliki penduduk yang lebih banyak dan wilayah yang lebih luas dari Anambas.
Kabupaten Kepulauan Anambas Dikebiri
Setelah KKA terbentuk, Pemkab Natuna kembali ingkar janji. Alokasi DBH Migas yang dikeluarkan Departemen Keuangan, jatah DBH Migas triwulan IV yang mesti diterima Kabupaten Natuna sebesar Rp193 miliar. Jika kesepakatan awal direalisasikan, paling tidak Rp77 miliar akan masuk ke kantong Anambas. Tapi nyatanya Anambas tak dapat sepersenpun.
Kini pemerintah KKA dan segenap masyarakat Anambas terus berjuang untuk mendapatkan haknya. BP2KKA sebagai lembaga non gorvernment yang sebelumnya melakukan advokasi pembentukan KKA juga giat berusaha untuk mendapat kompensasi DBH Migas.
Masyarakat Anambas tak sendiri, Gubernur Kepri juga kabarnya mendukung perjuangan masyarakat KKA. Melalui surat bernomor 0616/kdhkepri.905/12.08 tertanggal 2 Desember 2008 menyurati Menteri Keuangan. Gubernur Kepri mendukung upaya Pemkab Kepulauan Anambas yang mengharapkan kucuran DBH Migas triwulan IV TA 2008 demi kelancaran pelaksanaan roda pemerintahan di kabupaten baru itu. Malah, dalam surat tersebut, gubernur Kepri menyatakan bahwa lokasi sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas alam (Lapangan Udang dan Lapangan Kerisi) lebih dekat dan berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas.Tak hanya Gubernur, DPRD Kepri pun bersikap senada.
Mimpi Daeng Rusnadi Kuasai Migas Anambas.
Daeng memang tokoh politik yang tak takut menerjang badai. Setelah sebelumnya menghambat pembentukan provinsi Kepri. Bahkan berniat membentuk provinsi sendiri ketimbang bergabung dengan Kepri. Kemudian ia juga menghadang pembentukan KKA. Kini ia juga tak rela berbagi DBH Migas dengan KKA. Padahal tikuspun tahu bahwa kegiatan eksplorasi migas berada di wilayah Anambas. Kalau tidak untuk apa perusahaan-perusahaan pengeksplorasi migas itu (Conoco Philips, Star Energi dan Primeir Oil) memilih pulau Matak sebagai lokasi anjungan minyak (offshore) atau basecamp penambangan mereka. Pilihannya tentu karena alasan efisiensi, sebab letak pulau Matak (salah satu pulau dalam gugus kepulauan Anambas) yang lebih dekat dengan sumur-sumur Migas. Sedang Natuna agaknya harus menunggu sampai blok Natuna D Alpha di kelola dulu, dan pulau Bunguran dijadikan sebagai basecamp.

Saya optimis KKA pasti akan mendapat kompensasi yang layak sesuai peraturan perundang-undangan. Namun sebagai bagian dari komunitas masyarakat Anambas kita tetap harus melihat problema ini dengan arif. Dan kelak jika KKA telah mendapat DBH Migas, saya berharap Natuna juga tetap mendapatkannya atau diterapkan formula sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Sebab pemekaran daerah prinsipnya tak boleh mematikan daerah induk. Jika daerah induk sampai miskin bukan tak mungkin KKA digabung kembali dengan Natuna. Sedang Daeng Rusnadi si “Raja Bunguran”, pasca di obok-obok KPK beberapa waktu lalu saya kira hanya tinggal nunggu waktu saja. Cepat atau lambat... hotel prodeo sudah menanti….