18 Februari 2011

LIMA MALAM DI NEGERI SIAM

Hajat untuk berkunjung ke Thailand sudah ada sejak semasa di universitas dulu, namun karena keterbatasan dana dan waktu niat itu terpaksa diurungkan, dan baru beberapa waktu lalu dapat saya lakoni. Jauhnya perjalanan yang harus ditempuh dari Anambas tidak menghalangi saya untuk meneguk keeksotikan negeri yang pernah dipimpin Raja Mongkut itu, karena budget yang amat terbatas maka liburan ala backpacker pun jadi pilihan yang pas.

Lawatan Singkat ke KL, Tq Ncik Saufi

Perjalanan ini saya mulai dengan menyeberang dari Tanjung Pinang ke pelabuhan Situlang Laut-Johor Baharu-Malaysia bersama dua orang kawan (Fajrin Meirsa dan Robby Suryawan), kami memilih naik ferry Marina dengan harga tiket Rp.250.000,- per orang. Waktu tempuh dari Tanjung Pinang ke Johor hanya 2,5 jam. Dari Johor kami langsung menuju ke Larkin Terminal, untuk kemudian naik bis menuju Kuala Lumpur. Harga tiket Johor-KL kurang lebih Rp.90.000,- Setelah menempuh waktu 5 jam kami pun tiba di Terminal Pudu Raya. Usai bersantap sekejap, kami dijemput oleh Ncik Muhd Saufi Hussain, seorang warga negara Malaysia yang ternyata juga gemar travelling.

Di KL setelah sebelumnya menikmati makan malam di sebuah restoran China, oleh Ncik Saufi kami diajak berkeliling melihat-lihat twin tower KLCC, maha karya pemerintahan Mahathir yang amat popular bagi wisatawan dan businessman itu. Namun sayang karena malam hari kami tak dapat masuk ke KLCC tower. Dalam waktu yang relatif singkat Ncik Saufi berusaha keras memuaskan dahaga kami untuk sekadar melihat-lihat dan berfoto dari sudut yang pas untuk memperoleh pemandangan monumental KLCC dan KL tower serta sejumlah bangunan bersejarah lainnya. Penat berkeliling KL, kami kemudian melepas lelah di kediaman Ncik Saufi yang terletak di kawasan Sri Petaling, Kuala Lumpur.

Keesokan harinya sehabis sarapan roti canai khas Melayu, Ncik Saufi kemudian mengantar kami ke Stasiun Sky Train yang akan mengantarkan kami ke Airport untuk kemudian terbang dengan Air Asia menuju Phuket-Thailand.

Eksotiknya Phuket dan Phang Nga

Usai menempuh sekitar 1 jam perjalanan yang menelan cost Rp.880.000 (elok pesan tiket lebih awal supaya dapat harga yang lebih murah), akhirnya kaki ini menginjak tanah Phuket yang memikat. Pantai-pantainya yang eksotik nan panjang membentang telah tampak sejak kami masih di atas pesawat. Dari Air Port kami langsung menuju kawasan Pattong, dan chek in di sebuah hotel tak jauh dari Pattong Beach, Benetty House, harga kurang lebih Rp.200.000,- per orang/ permalam. Usai beristirahat sejenak, dengan kendaraan khas negeri itu yang biasa dipanggil Tuk Tuk kami langsung tancap gas berkeliling kawasan Pattong, sambil menikmati makanan Thai dan berbelanja beberapa barang pribadi. Malam harinya kami jelajahi kawasan Bangla Road. Dijalan yang penuh sesak wisatawan asing itu, pengunjung ditawari bermacam-macam show, mulai dari show art yang konvensional sampai yang agak nakal. Makan malam kami beranikan untuk mencicipi masakan India. Setelah penat menikmati kawasan Bangla Road yang semakin malam semakin ramai, kami putuskan untuk bersantai di sebuah bar kecil tak jauh dari hotel tempat menginap, sebelum akhirnya tertidur pulas.

Keesokannya harinya, pagi-pagi sekali kami langsung menuju Pantai Patong, sekadar jogging sambil melihat-lihat keindahan alam dan berbincang-bincang tentang prospek Anambas menjadi kawasan wisata yang memukau seperti Phuket, sebelum akhirnya bersantap pagi di sebuah Restoran Thai. Tepat jam 10 sebuah mobil van menjemput kami di hotel. Ya, hari ini kami membeli satu paket tour ke Phang Nga, untuk melihat James Bond island yang terkenal itu. Menghabiskan waktu kurang lebih 1,5 jam kami kemudian tiba di Monkey Cave (Suwankuha Temple), puas melihat-lihat dan berfoto dengan latar Sleeping/ reclining Budha, gua yang sejuk dan juga monyet-monyet yang lucu, perjalanan kembali diteruskan ke Koh Panyee, yakni sebuah perkampungan Muslim terapung. Makan siang pun kami nikmati tanpa keraguan di kawasan itu. Dari Koh Panyee, kami digiring menuju sebuah Kapal yang berlabuh di laut, untuk kemudian diajak mengitari gua dengan kano. Pemandangannya sungguh indah, ditambah lagi driver yang walau bahasa Inggrisnya terbata-bata cukup antusias mengajak berbincang terutama setelah tahu bahwa kami bertiga adalah juga Muslim seperti dirinya, yang datang dari Indonesia. Mungkin karena merasa kurang yakin, saya ditantangnya untuk membaca beberapa surat pendek dan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tanpa lelah driver yang masih berusia 20an tahun itu pun terus mendayungkan kano untuk kami sambil bercerita tentang keluarganya dan yang pasti tentu keseharian warga Thailand di Phuket, juga tentang gua yang kami kelilingi itu tentunya. Perjalanan tambah asyik sambil menikmati es kelapa muda yang saya beli dari sebuah kios apung di kawasan itu.

Lepas berkano, kami kemudian diajak menuju ke James Bond island. Perjalanan menuju James Bond sungguh luar biasa, tanaman mangrove dan bukit-bukit batu yang jangkung menjulang tampak seakaan berbaris mengawal perjalanan kami. Pulau James Bond ternyata nama aslinya adalah Ko Tapu yang berarti pulau Paku, mungkin karena bentuknya tegak lurus seolah paku yang menancap. Namun lebih dikenal dengan nama James Bond island, ini karena pulau kecil itu pernah digunakan sebagai lokasi syuting film James Bond 007 yang berjudul “The Man with Golden Gun” yang dibintangi oleh Roger Moore pada tahun 1974. Oh ya, harga untuk tour ke James Bond Island berkisar 800-1500 Bath, tergantung kepandaian bernegosiasi dan agen yang kita pilih.

Enjoy Bangkok

Karena sudah langsung chek out, sehabis dari James Bond island, kami bergegas menuju Phang Nga Town, kemudian naik bis malam menuju Bangkok. Sedang harga tiket untuk kelas ekonomi ber AC kurang lebih 400 Bath atau sekitar Rp.120.000,- untuk bis VIP dua tingkat, harga tiketnya dua kali lipat dari harga tersebut. Setelah 10 jam perjalanan, kamipun tiba di Bangkok dan langsung menunju kawasan Khaosan Road, daerah dimana para backpacker dari berbagai negara mangkal. Di Bangkok kami bermalam di Swashdee House, harga kamar permalam untuk bertiga 1150 Bath atau sekitar Rp.345.000,- Lepas bersantap pagi, kami langsung menjejali jalanan kota Bangkok, lagi-lagi dengan tuk-tuk. Berkunjung singkat ke Lucky Budha Temple, melihat-lihat gallery permata dan proses pembuatannya, bertandang ke fashion gallery dan berujung di Chatuchak weekend market. Pasar pedagang kaki lima/ kios yang hanya buka pada hari Sabtu dan Minggu. Konon Chatuchak adalah pasar PKL terbesar di Asia Tenggara. Harga barang di Chatuchak lebih murah jika dibanding dengan harga rata-rata barang sejenis di Jakarta/ Bandung, dan yang membuat kita sungguh nyaman berbelanja adalah areanya yang bersih. Pengunjungnya pun kebanyakan adalah anak-anak muda yang trendy dan turis manca negara.

Di Chatuchak ada satu pengalaman menarik yang saya dan kawan-kawan temui, ketika sedang duduk-duduk melepas penat sambil makan pancake, tepat pukul 18.00 tiba-tiba semua pungunjung berdiri serentak, sambil meletakkan genggaman tangan di dada kiri. Belakangan baru saya tahu bahwa setiap hari pada pukul 8 pagi dan 6 sore, warga Thailand biasa menyanyikan lagu kebangsaan mereka sebagai wujud dari rasa patriotisme.

Hari kedua di Bangkok, kami habiskan dengan menjelajahi pusat kota, dan mampir ke MBK, mall favoritnya orang Indonesia. Ketika hendak menonton film Thai di bioskop, saya lagi-lagi tarkejut, karena sesaat sebelum film dimulai tiba-tiba seluruh pononton berdiri, dan seketika dihadapan kami diputarkan film documenter singkat tentang perjalanan Raja Bhumibol Adulyadej, yakni Raja yang berkuasa di Thailand saat ini, konon hal ini adalah bentuk rasa cinta dan kesetiaan rakyat Thai terwadap rajanya. Pulang dari MBK kami habiskan malam dengan berkeliling di kawasan Khaosan Road, makan malam di disebuah cafe sambil duduk-duduk memandangi ratusan backpacker yang tak henti-hentinya berlalu lalang, mulai dari yang seksi, sampai yang kumel seolah sudah berapa hari tak mandi. Mulai dari yang datang sendiri dengan bag dipunggung, sampai yang menggendong anaknya yang masih Batita, sebagian besar mereka adalah backpacker dari Amerika dan Eropa, dan yang lainnya lagi adalah warga Korea serta negara Asia lainnya.

Hari ketiga di kota yang bernama asli Krung Thep Maha Nakhon itu, kami mulai dengan menandangi Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok, kunjungan kami tak lain adalah berkonsultasi tentang persoalan keimigrasian yang kami hadapi, disamping itu juga pastinya untuk memanjakan perut ini dengan tahu tempe dan ayam goreng khas tanah air. Dari Kedutaan kami telusuri kawasan Petchaburi, masuk ke jalan-jalan kecil melihat-lihat the real life of Thai People, sebelum akhirnya berfoto ria di beberapa monument, taman, dan gedung parlemen negara yang secara administratif terbagi kedalam 72 provinsi itu. Malam harinya kami habiskan dengan menontot salah satu art show di pusat kota, kemudian menjawab rasa lapar dengan menikmati sea food tak jauh dari gedung pertunjukkan, kami sempatkan pula untuk merasakan Thai massage yang membuat pikiran plong dan badan segar kembali.

Hari terakhir di Bangkok yang juga hari terakhir penjelajahan kami di negeri gajah putih ini kami habiskan dengan mengambil paket tur ke Ayutthaya yang berarti kota suci, harga paketnya 650-700 Bath, dan lama perjalanan kurang lebih 2 jam. Tempat yang kami kunjungi adalah Bang Pa In Palace, yang merupakan istana musim panas raja Thailand tempo dulu. Kawasan istana sungguh luas, asri dan bangunannya indah. Perjalanan kami teruskan ket Wat Yai Chaimongkhon yang khas dengan patung Budha Tidurnya. Kemudian ke Wat Maha That yang dulunya adalah pusat spiritual di Ayutthaya. Terus ke Wat Lokayasuttharam atau Reclining Budha, yang membedakan adalah disini Budhanya menggunakan bantalan teratai dan ukurannya juga sangat panjang.

Setelah makan siang, perjalanan diteruskan ke Wat Phra Si Sanphet. Meskipun hanya tinggal reruntuhannya saja tapi kemegahan dan keindahannya masih bisa kita lihat dan rasakan. Disini terdapat tempat penyimpanan abu King Boromatrailokana dan kedua anaknya, juga bisa melihat rumah asli raja Ayutthaya, dan pertunjukan gajah.

Usai menyelusuri provinsi Ayutthaya kami langsung menuju Airport Shuvarnabhumi, wow.. airportnya megah dan bersih luar biasa, setelah lolos dari pemeriksaan imigrasi yang amat sangat ketat kamipun terbang ke Singapura. Kami habiskan waktu semalam di sebuah hotel di Jalan Dickson, dekat Jalan Besar, harga hotel disini sangat mahal dibanding di Indonesia atau Thailand, untuk kelas tak berbintang saja bisa mencapai 115$ atau setara Rp.800.000. Keesokan harinya kami langsung menuju ke Port Tanah Merah untuk menyeberang ke Tanjung Pinang. Dan kami pun pulang dengan selamat, dan yang pasti tumpukan pekerjaan sudah menanti....
Baca Selengkapnya...

17 Februari 2011

GOBANG, TARIAN "BUNIAN" DARI JEMAJA

Sama halnya dengan warga daerah lainnya di Kepulauan Riau yang memiliki kesenian khasnya tersendiri, Kecamatan Jemaja juga demikian. Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang letaknya paling jauh itu juga memiliki kesenian khas yang dinamai Gobang.

Gobang adalah tarian yang bertumpukan pada gerakan kepala dan kaki, dengan alunan musik dan nyanyiannya yang khas, yang dilakukan oleh 8-10 pria bertopeng atau menggunakan berbagai macam pakaian seolah makhluk dari dunia lain.

Kesenian gobang konon berasal dari makhluk bunian, yang kemudian dibawa kealam nyata oleh salah seorang anak manusia yang pernah tersesat di hutan. Ada juga yang mengatakan bahwa gobang awalnya adalah kesenian suku laut yang biasa dimainkan kala mereka singgah di pulau Jemaja.

Pertunjukkan gobang biasanya dipertontonkan hanya pada hari-hari tertentu, misalnya ketika acara pesta perkawinan, perayaan hari kemerdekaan, atau pada acara pentas seni dan kebudayaan daerah, baik yang diselenggarakan di kabupaten Kepulauan Anambas, maupun yang diselenggarakan di ibukota Provinsi Kepulauan Riau, yang pasti gobang biasanya selalu dimainkan pada malam hari...huu...seureum...
Baca Selengkapnya...

SIANTAN DAN SEJARAH BERDIRINYA KOTA MUNTOK-BANGKA BELITUNG

Pulau Siantan ternyata punya peranan penting dalam sejarah berdirinya kota Muntok, ibukota kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung. Bahkan konon adalah orang-orang dari Siantan pula yang pertama kali menemukan timah di Muntok, hingga kemudian menyebabkan orang dari berbagai penjuru ramai kemari.

Adalah dua bersaudara yakni Pangeran Anom dan Pangeran Krama Jaya yang berasal dari Palembang yang mulanya menetap di Siantan. Kedua bangsawan itu sengaja pergi dari Palembang karena menolak penobatan pamannya Sri Teruno menjadi Sultan Palembang yang kemudian bergelar Sultan Agung Komarudin Sri Teruno.

Sebelum ke pulau Siantan, kedua pangeran itu sempat pula menetap di Johor, namun karena silang sengketa dengan penguasa Johor mereka memilih meninggalkan negeri itu.

Di pulau Siantan, kedua bangsawan Palembang ini menikah dengan perempuan setempat. Pangeran Krama Jaya menikah dengan seorang perempuan Cina muslim bernama Zamnah versi Carita Bangka atau Yang Mariam berdasarkan Hikayat Siak. Zamnah atau Yang Mariam merupakan anak daripada Wan Abdul Jabar bin Abdul Hayat.

Berkat pengalaman dan kharisma, mereka Pangeram Anom dan Pangeran Krama Jaya menjadi orang yang berpengaruh di Siantan, mereka kemudian mencoba kembali ke Palembang dengan membawa sejumlah pasukan. Pangeran Anom yang sejak semula memang tidak setuju dengan penobatan pamannya sebagai Sultan Palembang menginginkan jabatan yang dulu dipegang ayahandanya itu yang sudah barang tentu ditolak pamannya.

Namun karena Pangeran Anom mendapat dukungan dari orang-orang di pedalaman, ambisinya untuk menjadi Sultan Palembang semakin kuat. Tetapi keinginannya itu tidak hanya menuai konflik dengan pamannya, namun juga dengan Pangeran Krama Jaya yang dulu pernah menetap bersama ia di pulau Siantan. Salah satu sebab selisihnya dengan Pangeran Krama Jaya adalah karena Krama Jaya telah menikah dengan sepupunya atau anak Sultan Agung Komarudin Sri Teruno, janda daripada putra Pangeran Purbaya almarhum. Konflik pun semakin memanas terutama setelah adanya campur tangan Belanda. Pangeran Anom akhirnya mundur dari Palembang hingga ke daerah pedalaman, dan kemudian berlabuh di Jambi.

Setelah Sultan Agung Komarudin Sri Teruno wafat, Pangeran Krama Jaya dinobatkan menjadi Sultan Palembang dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin I. Sultan Mahmud giat melaksanakan pembangunan, beliau membangun banteng, Masjid Agung, dan kanal-kanal. Tak hanya di Palembang ia bahkan juga membangun kota baru yakni kota Mentok atau kota Muntok yang terletak di pulau Bangka.

Mentok didirikan sebagai sebagai penghormatan terhadap istri pertamanya yang berasal dari pulau Siantan. Bahkan istrinya yang bergelar Mas Ayu Ratu itu pulalah yang menetapkan letak kota Mentok yakni di pesisir Barat pulau Bangka, dekat gunung Menumbing.

Seperti disampaikan Djohan Hanafiah dalam seminar sehari tentang Hari Jadi Kota Mentok tahun 2009 silam sebagaimana ditulis oleh Sumardoni 14 Agustus 2009 dalam media Berita Musi, kata Mentok sendiri berasal dari kata “Entok” dari bahasa asli Siantan yang berarti “itu” yang diucapkan Mas Ayu Ratu saat menentukan kota yang akan dibangun Kesultanan Palembang itu. Pilihan terhadap daerah Barat di pulau Bangka ini, selain tanahnya subur, juga lebih dekat dijangkau dari kota Palembang.

Kota Mentok yang mulai di bangun pada bulan September 1734 menjadi bertambah maju terutama setelah sejumlah orang Siantan yakni dari keluarga Mas Ayu Ratu menemukan tambang timah di pesisir kota itu. Berbagai suku bangsa di nusantara maupun Asia pun ramai berdatangan ke Mentok untuk bekerja sebagai penambang timah atau berdagang. Konon keturunan orang-orang Siantan dari keluarga Mas Ayu Ratu di Mentok sampai saat ini masih bertahan. Para lelakinya, yang masih murni keturunan keluarga Mas Ayu Ratu, mendapat gelar panggilan Abang, sedangkan perempuan mendapat gelar Yang.

Namun demikian, tak banyak dari orang di Bangka Barat yang tahu bahwa Siantan yang dimaksud dalam sejarah berdirinya kota Mentok adalah pulau Siantan yang terletak di gugusan Kepulauan Anambas dan berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau-Indonesia. Banyak yang mengira bahwa Siantan yang dimaksud berada dalam wilayah Kesultanan Johor-Malaysia. Hal ini dapat dimaklumi, karena memang pulau Siantan dulunya berada dibawah kekuasaan Johor sampai kelak Traktat London memisahkannya. Bahkan Wan Abdul Hayat yang bernama asli Lim Tau Kian yang semula adalah seorang bangsawan dari Cina, juga adalah orang kepercayaan Sultan Johor yang dipercayakan untuk memerintah di negeri Siantan. Disamping itu perkembangan Siantan yang dulu kerap menjadi tempat pelarian politik bangsawan Bugis, Cina, dan Johor sendiri seperti tenggelam oleh zaman terutama ketika wilayah ini dihilangkan statusnya sebagai pusat kewedanaan Pulau Tujuh dan hanya menjadi sebuah kecamatan yang terisolir dan miskin dibawah rezim Orde Baru.

Kini pulau Siantan sejak pertengahan 2008 telah ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas, dan semoga perkembangannya sejalan dengan nama mashurnya yang sempat tercatat dalam beberapa literatur sejarah Melayu tempo dulu.
Baca Selengkapnya...

14 Februari 2011

NBA BERHENTI BEROPERASI

Pesawat Cassa berkapasitas 22 shet milik Nusantara Buana Air (NBA) yang melayani penerbangan ke Anambas berhenti beroperasi. NBA merupakan pesawat yang dikontrak Pemda Kepulauan Anambas untuk melayani penerbangan dari Tanjung Pinang-Matak-Tanjung Pinang jelang pesawat bersubsidi fokker 50 disediakan untuk melayani penerbangan reguler ke Kabupaten Kepulauan Anambas.

Sebagaimana diinfokan sebelumnya Pemkab Kep. Anambas berencana menjalin kerja sama dengan maskapai swasta dengan sistem subsidi untuk mengatasi kesulitan tranportasi di kabupaten baru pecahan Kab. Natuna ini. Namun karena masih dalam proses negosiasi, Pemda Anambas telebih dahulu mengontrak pesawat cassa berkapasitas 22 shet. Sayangnya setelah lebih kurang 20 hari melayani penerbangan ke Anambas, kini pesawat milik NBA itu berhenti beroperasi. Menurut informasi NBA berhenti karena telah habis kontrak untuk selanjutnya penerbangan ke Anambas akan dilayani pesawat fokker 50 yang menurut rencana akan mulai beroperasi tanggal 23 Februari mendatang.

Namun sayangnya sebelum tanggal tersebut tidak ada pesawat pengganti yang terbang ke Anambas, akibatnya daerah ini kembali kesulitan transportasi. Sedang KM. Bukit Raya milik PELNI hanya melayari Anambas dua kali dalam 15 hari, Ferry Batavia yang sebelumnya juga melayani mobilitas warga Anambas hingga kini belum juga mendapat izin berlayar karena cuaca di laut yang membahayakan keselamatan pelayaran dengan kapal cepat.

Kali ini masyarakat Anambas tentu berharap persoalan transportasi yang telah mendera Anambas sejak lima bulan lalu itu segera teratasi oleh Dinas terkait, sehingga selain untuk menunjang mobilitas masyarakat dalam rangka menggerakkan roda ekonomi, juga berprentensi memudahkan investasi dan manarik kunjungan wisatawan. Semoga...
Baca Selengkapnya...

RIAU AIR, MASKAPAI DENGAN SALAM ISLAM

Mendapat sapaan dengan Kalimat Selamat Pagi, Siang atau malam pasti sudah biasa kita terima kala naik pesawat terbang. Tetapi mendapat sapaan dengan kalimat khas salam Islam "Assalamu'alaikum Wr, Wb" agaknya tak pernah kita terima khususnya saya pribadi bahkan ketika terbang dari negara jiran Malaysia sekalipun, yang notabenenya merupakan negara Islam.

Sapaan khas dengan salam Islam itu akan sering kita dapatkan bilamana anda memilih terbang dengan maskapai Riau Air. Perusahaan penerbangan yang pernah mendapat penghentian izin terbang karena kisruh ditubuh managemennya itu merupakan pesawat milik BUMD yang keseluruhan sahamnya dipegang oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau dan beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota diwilayah itu.

"Assalamu'alaikum" kata seorang pramugari cantik dengan berpakaian sungguh santun walau tak memakai penutup kepala. Salam itu ia sampaikan kepada seluruh penumpang sebelum menyampaikan beberapa keterangan untuk keselamatan penerbangan sebagaimana lazim kita dapatkan sebelum terbang dengan penerbangan sipil manapun didunia ini. Seperti biasa ucapan selamat datang dan keterangan keselamatan selain dalam bahasa Indonesia juga disampaikan dalam bahasa Inggris. Dan tak berapa lama pesawat pun terbang dengan nyaman. Didalam perjalanan jika berniat untuk berwisata di Riau sambil menikmati snack seadannya anda dapat pula membaca informasi tentang pariwisata beberapa daerah di Riau melalui majalah yang disisipkan dibelakang tempat duduk penumpang, ada juga majalah yang khusus memberikan referensi investasi di provinsi yang dipimpin oleh Gubernur Rusli Zainal itu.

Beberapa saat sebelum landing, sang Pramugari cantik yang mengenakan pakaian berwarna biru dengan motif khas Melayu itu kembali menyapa penumpang, dan menutup pesan peringatan dengan salam Islam "Wassalamu'alaikum Wr.Wb".

Kini Riau Air, pesawat kebanggan warga Riau itu yang sudah sembilan tahun melayani penerbangan beberapa rute di Riau, Kepulauan Riau, dan juga Malaysia, serta beberapa daerah lainnya di tanah air itu terus berbenah diri dan meningkatkan performanya, dan semoga salam Islam tetap menyertai Riau Air di udara...
Baca Selengkapnya...