30 April 2009

ANAMBAS TAK DAPAT DBH MIGAS ???

Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) pada 24 Juni lalu ternyata tidak menjadikan Anambas secara otomatis berhak mendapatkan DBH Migas. Meski sebelumnya telah ada kesepakatan antara pemerintah Kabupaten Natuna sebagai kabupaten induk dengan para penggagas KKA tentang pembagian DBH, ternyata KKA masih harus gigit jari. Alokasi DBH Migas yang dikeluarkan Departemen Keuangan pada triwulan keempat, Kabupaten Kepulauan Anambas ternyata hanya dapat Rp. 0.

Persoalan DBH migas memang telah lama mengemuka. Konon hal ini pula yang menjadi alasan Bupati Natuna, Daeng Rusnadi menolak pemekaran Anambas dari kabupaten Natuna beberapa waktu lalu. Walau ketika hendak maju pada Pilkada Natuna tahun 2006, didepan tokoh-tokoh Anambas Daeng berikrar setuju. Tapi siapa sangka setelah berhasil duduk di kursi N 1. Daeng yang juga seorang alim ulama itu ingkar tanpa malu. Dengan berbagai dalih Daeng berusaha menjegal Anambas. Tapi perjuangan yang solid dari segenap masyarakat Anambas akhirnya pemerintah pusat pada 24 Juni 2008 menetapkan UU. 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Anambas di Provinsi Kepulauan Riau.

Alasan yang paling pokok penolakan Daeng terhadap KKA memang karena persoalan Migas. Pasalnya kekayaan alam migas yang selama ini digadang-gadangkan Pemkab Natuna, kegiatan pengekspolorasiannya berada di wilayah Anambas. Jika Anambas berpisah dari Natuna dan berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom. Tentu DBH Migas yang selama ini diterima Natuna akan beralih ke Anambas. Padahal selama ini DBH Migas menyumbang lebih dari 90 persen APBD Natuna yang tiap tahunnya berkisar Rp. 700 milyar sampai 1 triliun lebih.

Namun masyarakat Anambas tak mau mengedepankan egonya. Karena mereka pada dasarnya menginginkan pemekaran daerah mendatangkan kemaslahatan bagi semua. Tidak hanya untuk Anambas tetapi juga si induk Natuna. Untuk itu dibuatlah kesepakatan yang pada intinya membagi DBH Migas dengan formulasi 60 persen untuk Natuna dan 40 persen untuk Anambas. Kesepakatan tersebut tertuang dalam surat BP2KKA nomor 209.3/ANAMBAS/IV/2008 tanggal 23 April 2008 perihal persetujuan dan permohonan tentang DBH Migas, yang ditandatangai oleh Ketua Umum BP2KKA Prof. Dr. M. Zein, Sekretaris BP2KKA Wann Saros, Wakil Bupati Natuna Raja Amirullah, Wakil Ketua DPRD Natuna Wan Zuhendra, Pemprov Kepri yang diwakili Asisten Tata Praja Kepri Tengku Mukhtaruddin, dan Ketua DPRD Kepri Nur Syafriadi. Formulasi tersebut dibuat berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk dan luas wilayah, yang mana Natuna memiliki penduduk yang lebih banyak dan wilayah yang lebih luas dari Anambas.

Kabupaten Kepulauan Anambas Dikebiri
Setelah KKA terbentuk, Pemkab Natuna kembali ingkar janji. Alokasi DBH Migas yang dikeluarkan Departemen Keuangan, jatah DBH Migas triwulan IV yang mesti diterima Kabupaten Natuna sebesar Rp193 miliar. Jika kesepakatan awal direalisasikan, paling tidak Rp77 miliar akan masuk ke kantong Anambas. Tapi nyatanya Anambas tak dapat sepersenpun.

Kini pemerintah KKA dan segenap masyarakat Anambas terus berjuang untuk mendapatkan haknya. BP2KKA sebagai lembaga non gorvernment yang sebelumnya melakukan advokasi pembentukan KKA juga giat berusaha untuk mendapat kompensasi DBH Migas.

Masyarakat Anambas tak sendiri, Gubernur Kepri juga kabarnya mendukung perjuangan masyarakat KKA. Melalui surat bernomor 0616/kdhkepri.905/12.08 tertanggal 2 Desember 2008 menyurati Menteri Keuangan. Gubernur Kepri mendukung upaya Pemkab Kepulauan Anambas yang mengharapkan kucuran DBH Migas triwulan IV TA 2008 demi kelancaran pelaksanaan roda pemerintahan di kabupaten baru itu. Malah, dalam surat tersebut, gubernur Kepri menyatakan bahwa lokasi sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas alam (Lapangan Udang dan Lapangan Kerisi) lebih dekat dan berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas.Tak hanya Gubernur, DPRD Kepri pun bersikap senada.

Mimpi Daeng Rusnadi Kuasai Migas Anambas.
Daeng memang tokoh politik yang tak takut menerjang badai. Setelah sebelumnya menghambat pembentukan provinsi Kepri. Bahkan berniat membentuk provinsi sendiri ketimbang bergabung dengan Kepri. Kemudian ia juga menghadang pembentukan KKA. Kini ia juga tak rela berbagi DBH Migas dengan KKA. Padahal tikuspun tahu bahwa kegiatan eksplorasi migas berada di wilayah Anambas. Kalau tidak untuk apa perusahaan-perusahaan pengeksplorasi migas itu (Conoco Philips, Star Energi dan Primeir Oil) memilih pulau Matak sebagai lokasi anjungan minyak (offshore) atau basecamp penambangan mereka. Pilihannya tentu karena alasan efisiensi, sebab letak pulau Matak (salah satu pulau dalam gugus kepulauan Anambas) yang lebih dekat dengan sumur-sumur Migas. Sedang Natuna agaknya harus menunggu sampai blok Natuna D Alpha di kelola dulu, dan pulau Bunguran dijadikan sebagai basecamp.

Tapi sekencang apapun usaha yang dilakukan Daeng Rusnadi dan konco-konconya pasti akan gagal. Apalagi kabarnya pihak konsorsium juga mendukung langkah yang dilakukan Pemkab Anambas untuk mendapatkan DBH Migas. Konsorsium tentu tak mau repot, apalagi tersiar kabar bahwa jika KKA tak dapat DBH Migas masyarakat Anambas akan memblokade basecamp konsorsium di pulau Matak. Tentu hal tersebut tidak diinginkan.

Saya optimis KKA pasti akan mendapat kompensasi yang layak sesuai peraturan perundang-undangan. Namun sebagai bagian dari komunitas masyarakat Anambas kita tetap harus melihat problema ini dengan arif. Dan kelak jika KKA telah mendapat DBH Migas, saya berharap Natuna juga tetap mendapatkannya atau diterapkan formula sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Sebab pemekaran daerah prinsipnya tak boleh mematikan daerah induk. Jika daerah induk sampai miskin bukan tak mungkin KKA digabung kembali dengan Natuna. Sedang Daeng Rusnadi si “Raja Bunguran”, pasca di obok-obok KPK beberapa waktu lalu saya kira hanya tinggal nunggu waktu saja. Cepat atau lambat... hotel prodeo sudah menanti….
Baca Selengkapnya...

22 April 2009

KETIKA CALEG DEPRESI

Belakangan ini sejumlah media nasional kerap memberitakan tentang para caleg yang mengalami depresi akibat gagal meraih kursi di DPD/ DPR/ DPRD. Di Kabupaten Garut misalnya ada dua orang caleg yang marah besar sambil menghujat tim suksesnya karena gagal meraih kursi, padahal yang bersangkutan sudah menebar uang banyak. Akibatnya kedua caleg tersebut sempat diamankan polisi setempat. Sebuah wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba di Purbalingga mengaku telah merawat sembilan pasien baru yang mengalami stres, enam diantaranya adalah caleg yang kalah dalam Pemilu 2009. Konon mereka kerap mengigau-ngigau sambil minta uang yang telah dikeluarkan dikembalikan lagi, bahkan ada yang selalu ingin telanjang.

Di kota Banjar seorang caleg wanita ditemukan tewas di sebuah gubuk di tengah sawah, yang bersangkutan memutuskan untuk bunuh diri setelah tahu suara yang diperolehnya tak memadai. Di Gorontalo ada caleg yang over dosis mengkonsumsi obat penenang karena suara yang diperolehnya selisih tipis dengan rekan satu partainya. Masih banyak cerita lainnya tentang caleg yang stress yang kalau saya kutip semua bisa tidak cukup semalam. Belum lagi cerita soal caleg yang mengambil kembali bantuan yang sudah diberi kepada warga hanya gara-gara tak berhasil mendapat kursi legislatif.

Ceritera tentang caleg yang depresi memang sebuah fenomena baru dalam perpolitikan di tanah air. Konon pada Pemilu 2009 yang baru saja kita lewati ini, ada sekitar 7000 caleg yang berpotensi depresi. Walau angka tersebut masih patut dipertanyakan, tetapi yang pasti fenomena tentang caleg stress agak mengejutkan tapi menggelitik. Namun seperti pernah dikatakan analis Politik J Kristiadi lebih baik seorang caleg stress karena tidak terpilih ketimbang stress karena tidak kuat dengan segala intrik dan tekanan justru setelah berhasil mendapat kursi. Kononnya lagi kebanyakan dari anggota DPR 2004-2009 meninggal dunia karena stress dan serangan jantung.

Mencermati ceritera tentang caleg stress diatas saya jadi teringat sebuah teori dalam ilmu sosiologi yakni teori tentang Hirarki Kebutuhan. Menurut teori tersebut hidup kita ini mengikuti tangga kebutuhan. Anak tangga yang paling bawah adalah Kebutuhan untuk makan, anak tangga kedua adalah kebutuhan terhadap rasa aman, ketiga kebutuhan untuk bersosialisasi, keempat kebutuhan akan harga diri, dan yang kelima dimana merupakan anak tangga teratas adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Sesorang menurut teori tersebut hanya akan mungkin sampai pada tangga kedua bila mana sudah menaiki anak tangga pertama, dan baru bisa ketangga ketiga bila sudah melewati anak tangga kedua, begitu seterusnya.

Aktiitas berpolitik adalah bagian dari pengejewantahan aktualisasi diri. Dan dapat dipandang sebagai kebutuhan tertinggi dalam konteks hirarki kebutuhan. Oleh karena itu semestinya mereka yang ingin terjun kedunia politik terlebih dahulu harus telah mapan dalam hal ekonomi keluarga, termasuk dalam hal kemampuan bersosialisasi dan ketokohan. Celakannya banyak orang yang urusan priuk rumah saja belum beres malah banting stir menjadi caleg dengan dalih mau berjuang untuk rakyat. Karena ketokohan yang juga hampir tak dikenal, sang caleg butuh gizi lebih untuk bersosialisasi secara instan dan biasanya itu dilakukan dengan menebar uang. Tapi apa nyana dana kampanye yang besar yang sebagian besar diperoleh dengan berhutang atawa dengan cara jual warisan dari Mertua ludes tak bersisa sedang suara yang diperoleh tak seberapa. Tekanan ekonomi ditambah tekanan politik dan kompetisi yang demikian ketat menjadi faktor kuat yang mempengaruhi kestabilan mental seseorang, jika iman kurang tebal depresi lah jadinya.

Tahun lalu ketika musim pendaftaran caleg mulai ramai, beberapa kawan seperjuangan juga ada yang menyorong-nyorong saya supaya ikutan nyaleg untuk DPRD, tapi karena paham betul bahwa jangankan anak tangga "self actualization", anak tangga kebutuhan makan pun masih kerap megaduh. Sambil melenggang santai saya hanya menjawab this is not time for our generation.

Politik kata Harold Laswell adalah tentang who get what, when, and how, alias siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Tapi yang kerap dilupakan orang adalah "Why" alias mengapa. Padahal Why adalah Nawaytu-nya atau motivasi seseorang untuk terjun dalam politik prakis. Jika memang tujuannya adalah dalam rangka ikut melayani masyarakat serta mengabdikan diri pada bangsa dan negara. Jika tak dipilih..? semestinya ya..legowo saja.

Ngomong-ngomong pada pemilu kali ini di Anambas ada 128 caleg yang memperebutkan 20 kursi DPRD. Lima diantaranya adalah kerabat dekat saya, dan puluhan lainnya adalah teman dan handai taulan yang saya kenal baik. Sampai hari ini saya tak tahu pasti apakah mereka berhasil meraih kursi panas yang diidamkan, tetapi harapan saya jikapun gagal jangan sampai ada yang depresi. Semoga.
Baca Selengkapnya...

14 April 2009

KEPULAUAN ANAMBAS: KAWASAN PERBATASAN YANG RAWAN PENJARAHAN

Maret lalu Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Singapura diwakili Menteri Luar Negeri Singapura George Young Boon Yeo, menyepakati perjanjian penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian Selat Singapura. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipah dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer.(Kompas.com, 10 Maret 2009). Penandatanganan perjanjian yang dilangsungkan di Ruang Pancasila Departemen Luar Negeri, Jakarta itu merupakan suatu capaian kemajuan antara RI-Singapura dalam konteks penyelesaian kawasan perbatasan setelah negosiasi yang alot sebanyak delapan kali sejak 2005 silam.

Namun demikian kesepakatan tersebut tak berarti akhir dari pekerjaan rumah negara ini dalam hal penanganan kawasan perbatasan. Sejumlah persoalan masih memerlukan perhatian dan formula penyelesaiannya tersendiri, seperti masalah perbatasan di kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau.

Anambas, merupakan sebuah kabupaten maritim yang terletak pada 1 derajat 30 menit sampai 3 derajat 30 menit lintang selatan dan 105 derajat 20 menit sampai 106 derajat 50 menit bujur timur. Disebelah utara Anambas terbentang luas laut China Selatan yang mana berhadapan langsung dengan sejumlah negara tetangga Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Sedang disebelah barat Anambas berbatasan dengan semenanjung Malaysia.

Letaknya yang strategis semestinya dapat menjadikan Anambas sebagai salah satu kawasan pertumbuhan ekonomi, tetapi alih-alih maju dan berkembang seperti Singapura, Anambas malah selalu jadi ladang empuk bagi kegiatan penjarahan ikan (illegal fishing) oleh para nelayan asing.

Setiap hari ratusan kapal nelayan asing menjarah ikan di laut Anambas dan Natuna, hanya sebagian kecilnya saja yang berhasil ditangkap oleh aparat kemanan setempat. Kemampuan nelayan asing yang mumpuni ditambah dukungan teknologi yang jauh lebih memadai memang memungkinkan para nelayan itu mencari ikan jauh dilepas pantai negara mereka. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan nelayan tempatan, yang hanya mampu memburu ikan sejauh empat mil dengan peralatan yang seadanya.

Nelayan asing yang menangkap ikan diperairan Anambas tidak saja telah melanggar kedaulatan NKRI, namun juga merugikan perekonomian negara ini serta merusak lingkungan hidup oleh karena metode penangkapan mereka yang menggunakan pukat harimau. Menurut ceritera masyarakat setempat kapal-kapal nelayan asing yang umumnya berasal dari Thailand dan Vietnam itu tidak hanya mencuri ikan di tengah laut tetapi hampir mendekati garis pantai Anambas, bahkan terkadang mereka menyempatkan bersandar dipulau-pulau kecil disekitar untuk mengambil air bersih. Tak jarang nelayan tempatan yang kebetulan berpas-pasan dengan kapal motor mereka di usir.

Lain cerita dilaut lain lagi didarat, kapal nelayan asing yang berhasil ditangkap dilabuhkan ditepi pantai Terempa atau pelabuhan Antang. Sementara ABK kapal dibiarkan bebas berkeliaran dipemukiman masyarakat. Bahkan kadang mereka bekerja sebagai buruh angkut pelabuhan, atau mencari pekerjaan serabutan di rumah-rumah penduduk untuk sekadar mendapat jatah makan. Hal ini terpaksa dilakukan karena Lanal setempat tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan makan mereka.

Para nelayan asing itu dibiarkan bebas berkeliaran, sampai urusan deportasi mereka diselesaikan oleh kapten kapal atau perusahaan mereka di negara asal. Celakanya lagi seperti pernah diceritakan seorang aparat TNI AL di Terempa, terkadang perusahaan atau negara asalnya tidak mau bertanggung jawab, kondisi ini lazim terutama bagi nelayan dari Vietnam.

Bebasnya para ABK nelayan asing di pemukiman warga memberi sejumlah ekses negatif. Selain karena perbedaan prilaku dengan masyarakat tempatan, nelayan asing itu juga berpretensi menyebarkan HIV/ Aids dan Narkoba. Bahkan kadang tindak kekerasan pada penduduk lokal khususnya bilamana mereka menyebar di kampung-kampung atau daerah terpencil.

Anambas dan Natuna memang memiliki potensi perikanan yang sangat besar. Imam Pragnyono dalam tulisannya di harian Sinar Harapan tahun 2004 mangatakan bahwa sumber daya perikanan laut yang dimiliki Anambas dan Natuna mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36 persen, dan hanya sekitar 4,3 persen saja yang dimanfaatkan oleh nelayan tempatan.

Potensi perikanan yang demikian besar itu tidak terkelola dengan baik antara lain disebabkan karena rendahnya dukungan dari pemerintah lokal serta minimnya pengamanan dikawasan perbatasan. Masyarakat Anambas tentunya berharap semoga dengan telah dibentuknya kabupaten Kepulauan Anambas sejak Juni 2008 lalu, pemerintah setempat bisa menstimulus dan memberdayakan nelayan lokal sehingga mampu meningkatkan produktivitas mereka yang pada gilirannya akan berimplikasi pada penambahan pendapatan asli daerah setempat. Disisi lain peningkatan pengamanan kawasan perbatasan khususnya di wilayah Anambas adalah juga pekerjaan rumah yang harus diperhatikan oleh pemerintah pusat.
Baca Selengkapnya...

08 April 2009

BUPATI NATUNA SAMBANGI TERSANGKA KORUPSI

Perlahan tapi pasti kasus-kasus korupsi di Natuna mulai terkuak. Setelah sebelumnya sejumlah pejabat dan mantan anggota DPRD Natuna ketar-ketir diperiksa KPK, kini giliran Kejari Natuna yang unjuk gigi. Setidaknya lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pekerjaan pemasangan jaringan menengah di desa Payalaman-Ladan, kecamatan Palmatak, yang kini telah masuk dalam wilayah kabupaten Kepulauan Anambas. Para bekas pejabat Natuna itu kini meringkuk dalam tahanan Mapolres Natuna di Ranai.

Kelima tersangka kasus korupsi itu adalah Mantan Plt Kadis Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Natuna, Kepala Bidang LPE Distamben Kabupaten Natuna, Chandra Putra ST, Agus Firmansyah, SE, M. Si, Novid Jefrin, Sudirman dan Agustian S.Sos. (Sijori Mandiri, 3 April 2009).

Namun demikian para tersangka korupsi itu sebagaimana diberitakan koran Sijori Mandiri, mendapat kunjungan istimewa dari Bupati Natuna, Daeng Rusnadi, Wakil Bupati Raja Amirullah, Sekda Ilyas Sabli dan sejumlah pejabat teras dilingkungan Pemkab Natuna, yang membesuk mereka di penjara Mapolres Natuna, Ranai pada 2 April 2009 lalu.

Menurut Daeng Rusnadi tujuannya membesuk para tersangka korupsi itu adalah untuk memberi motivasi dan dukungan moril. Walau demikian pihaknya mengaku memberikan dukungan penuh terhadap penindakan hukum yang dilakukan pihak kejaksaan dalam mengungkap dan mengadili kasus itu sesuai prosedur dan mekanisme ketentuan hukum yang berlaku.

Sekilas tak ada yang salah dengan kunjungan Daeng Rusnadi itu, apalagi para tersangka korupsi itu adalah para koleganya juga. Namun tentu jangan sampai kunjungan petinggi kabupaten Natuna itu mengisyaratkan upaya pemerintah daerah setempat untuk mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung. Kepada Kejaksaan Negeri setempat inilah saatnya untuk menunjukkan kredibiltas dan profesionalismenya. Proses hukum tetap harus dijalankan secara transparan dan objektif, meski para tersangka sebagaimana diakui oleh Daeng sendiri mendapatkan motivasi dan dukungan moril dari dirinya.

Jika seandainya saya yang dalam kapasitas seperti Daeng tentu saya tidak akan mau membesuk para tersangka apa lagi memberi dukungan moril atau motivasi segala. Bahkan bila perlu akan saya kumpulkan semua pejabat seraya mengingatkan mereka bahwa nasib serupa bisa menimpa siapapun juga jika berani melakukan korupsi. Tapi maklum Daeng orangnya baik hati, alih-alih ikut memberi kecaman tapi malah dukungan moril dan motivasi yang digadang-gadangkan. Mudah-mudahan tidak sampai menstimulus pejabat lain untuk melakukan hal serupa agar mendapatkan dukungan moril dan motivasi juga dari "sang pemimpim besar" tanah Bunguran itu.

Korupsi di Natuna (maaf) memang seperti kentut, bunyinya memang tidak terdengar tapi baunya menyebar dimana-mana, dan sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di sana. Di Natuna para pegawai negeri yang baru bertugas beberapa tahun sudah bisa punya rumah bertingkat bahkan ada yang sudah mampu membeli mobil. Kalau saja negara ini menganut sistem pembuktian terbalik dalam penanganan korupsi, mungkin sudah lama penuh penjara, dan sepertinya diperlukan pulau khusus untuk terpidana korupsi.

Tabiat rasuah alias korupsi di Natuna sudah lama menjadi perbincangan hangat rakyat, dulu seorang kenalan yang bekerja di BPK pernah menyatakan bahwa korupsi di Natuna benar-benar extra ordinary. Bahkan koran Sijori Mandiri yang merupakan koran lokal terkemuka di provinsi Kepulauan Riau juga pernah mengangkat kasus korupsi di Natuna dalam tajuknya berjudul "Selamatkan Natuna" pada 20 Februari tahun 2008. Dalam tajuknya itu redaktur mengemukakan:

"...besarnya nilai APBD Natuna tidak sebanding dengan realisasi pembangunan infrastruktur yang ada. Dan tak hanya kondisi infrastruktur yang memprihatinkan, tapi juga pertumbuhan perekonomian, gaya hidup, termasuk pola hidup masyarakatnya yang juga sangat mencemaskan. Pada sisi lain, walaupun sudah bermunculan berbagai dugaan tentang praktik korupsi pada penggunaan APBD Kabupaten Natuna, namun sejauh ini kondisi yang parah itu belum lagi mendapatkan perhatian dari aparat penegak hukum, baik di Natuna maupun Kepri secara umumnya. Tak salah kiranya Kejaksaan Agung mencap Kejaksaan Negeri (Kejari) Natuna tidak bergeming di dalam upaya pemberantasan korupsi.Kabupaten Natuna beserta masyarakatnya harus diselamatkan dari gerbang kehancuran. Jangan sampai ayam mati di atas gabah. Sementara sebagian pejabat Natuna bergelimang dengan uang, mobil mewah mengkilat, rumah bertingkat dan saldo terus berbunga, berlipat dan terus meningkat. Lalu pejabat mendidik masyarakat menjadi pemalas dengan membagikan sumbangan setiap bulan, hingga membuat antrean panjang di Kantor Pemkab Natuna".

Natuna memang merupakan daerah yang kaya, namun karena prilaku pejabatnya yang korup hingga kini masyarakatnya masih dalam keadaan miskin yang menurut BPS Natuna mencapai 30 persen lebih. Pemerintah setempat bukannya sibuk memikirkan bagaimana melakukan pemberdayaan, tapi malah asyik masygul membangun proyek-proyek mercu suar, dan menimbun harta untuk kepentingan pribadi.

Semoga saja Kejari Natuna bukan diisi oleh orang-orang "banci", sehingga penanganan perkara korupsi tidak berhenti disini saja tetapi harus diteruskan pada kasus-kasus yang lain, termasuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah nomor satu sekalipun.
Baca Selengkapnya...

06 April 2009

BEREBUT SUARA DI SITU GINTUNG

Hampir dua pekan, bencana jebolnya tanggul situ Gintung, Tangerang, Banten terjadi. Musibah yang menewaskan seratus korban lebih itu sungguh menyayat hati siapapun yang melihatnya. Bagi yang memiliki selaksa daya akan tergerak membantu meski hanya beberapa Rupiah. Sedang bagi yang papa cukuplah ia membantu dengan berdoa kepada Sang Khaliq, setidaknya begitulah kebajikan agama mengajarkan kita.

Bencana alam yang terjadi di negeri ini memang selalu menyedot perhatian. Serempak tanpa paksaan dan provokasi solidaritas bangsa kembali menguat, tiap elemen negara ini ingin mengulurkan bantuan tanpa terkecuali oleh partai politik. Maklum bencana kali ini terjadi hanya beberapa pekan jelang Pemilu 2009.

Namun, yang patut dikritisi pantaskah suasana duka justru dimanfaatkan untuk berkampanye. Tidakkah itu sama saja dengan bersenang diatas duka orang lain . Padahal kuat dugaan bahwa musibah situ Gintung terjadi karena human error akibat kurang awasnya pejabat publik akan keselamatan rakyat. Dan mereka yang kini menjadi pejabat publik bukankah juga orang-orang partai politik.

Hakikat Partai Politik
Keberadaan partai politik adalah sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi modern. Secara teoritik ia berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pendidikan politik, sebagai sarana partisipasi politik, pengatur konflik, komunikasi politik, serta aggregasi kepentingan. Dan yang paling utama ialah fungsi rekrutmen politik yakni mengantarkan anggota-anggotanya dalam jabatan publik; Bupati, walikota, Gubernur, Menteri, presiden, anggota legislatif dan lain sebagainya.

Pengklasifikasi fungsi daripada partai politik bukanlah bermakna bahwa ia lembaga yang hanya peka terhadap masalah-masalah politik tapi justru bertujuan memantapkan tradisi berdemokrasi dan kehidupan sosial dalam konteks bernegara. Sebab dengan demikian tampaklah perbedaan yang nyata antara parpol dengan elemen infrastruktur politik yang lain seperti LSM, kelompok kepentingan (interest group), elit, media massa, dan juga pressure group termasuk mahasiswa.

Bisa dibayangkan jika tidak ada pembagian tugas seperti itu, apa jadinya jika parpol berfungsi sebagai wadah para pemain sepak bola, sementara justru organisasi agama yang ikut Pemilu.

Parpol dan Aktivitas Sosial
Lalu jika demikian apakah parpol tidak boleh menjalankan fungsi sosial semisal ikut mendirikan posko atau mengirim sukarelawan ketika terjadi bencana seperti di situ Gintung. Jawabannya tentu saja boleh sepanjang tidak membawa atribut partai serta tidak pula dijadikan sebagai ajang kampanye dalam bentuk apapun. Sebab jika demikian adanya pasti akan sangat menyakiti hati rakyat, dan justru mempertontonkan sikap tidak profesionalnya partai politik tersebut.

Menurut penulis ada tiga cara paling elegan yang bisa dilakukan oleh parpol untuk menjalankan aktivitas sosialnya. Pertama, parpol yang ingin membantu bisa saja bekerja sama dengan lembaga seperti Palang Merah Indonesia atau Bulan Sabit Indonesia atau LSM tertentu yang jauh lebih berpengalaman dalam menangani bencana. Mereka tentu memiliki jaringan, mekanisme dan sistem kerja yang lebih mumpuni serta kemampuan koordinatif yang baik dibanding parpol yang hanya bergerak insidental dan cenderung bekerja sendiri-sendiri.

Kedua, parpol yang tetap ingin membantu secara mandiri bisa melakukannya dengan cara mendirikan organisasi atau badan khusus yang siap diturunkan kapanpun bila ada bencana. Mirip seperti under bow partai, namun tetap harus bekerja professional tanpa harus membawa bendera partai, mensosialisasikan nomor partai apalagi nama caleg. Jika kerja lembaga tersebut kredibel dan kontributif tentu rakyatlah yang akan memberi apresiasinya sendiri, pada gilirannya juga akan berimplikasi terhadap elektabilitas partai politik tersebut.

Ketiga, dan saya kira ini adalah yang paling penting yaitu mengembangkan alternatif solusi bagi penanggulangan bencana termasuk didalamnya antisipasi terhadap potensi bencana lewat proposal kebijakan publik yang diperjuangkan oleh wakil-wakil mereka diparlemen. Disaat yang bersamaan juga memainkan peran yang optimal dalam mengawasi kinerja pemerintah khsususnya yang terkait dengan kewajiban memberikan penjaminan rasa aman terhadap warga negara termasuk rasa aman dari bencana yang disebabkan oleh kelalaian manusia. Sebab seperti dikatakan sosiolog Johan Galtung, bila upaya mengantisipasi itu tak dilakukan secara sungguh-sungguh, apalagi tanpa upaya antisipasi, maka sesungguhnya kekerasan terhadap masyarakat telah terjadi.

Akhirnya kita berharap agar bencana demi bencana yang melanda negara ini, hendaknya dijadikan sebagai refleksi oleh para pemimpin negeri ini termasuk oleh parpol-parpol yang kini menebar simpati di Situ Gintung. Jangan sampai bencana yang terjadi karena kelalaian tokoh-tokoh parpol yang kini memimpin negara, justru digunakan pula oleh partai politik untuk merebut suara.
Baca Selengkapnya...